• Sahabat Agus Surya Wedy (Wedy)


    Ketua Rayon Masa Khidmat 2008-2009
  • Sahabat Yanu Maftukhin Fahmi (Yanu)


    Ketua Rayon Masa Khidmat 2009-2010
  • Sahabat Agus M. Harisuddin (Haris)


    Ketua Rayon Masa Khidmat 2010-2011
  • Sahabat Boding M. Tadjuddin (Boding)


    Ketua rayon Masa Khidmat 2011-2012
  • Sahabat Fakhruddin Yusuf (Yusuf)


    Ketua rayon Masa Khidmat 2012-2013
  • Sahabat Ahmad Alym Bahron (Alym)


    Ketua Rayon Masa Khidmat 2013-2014
  • Who Is The Next ???


    Ketua Rayon Masa Khidmat 2014-2015

Pemimpin Dan Rakyatnya

"Seorang khalifah dari dinasti Bani Umayyah mendengar perkataan buruk rakyatnya tentang khilafah yang dipimpinnya. Karena hal itu, sang khalifah mengundang dan mengumpulkan para tokoh dan orang-orang yang berpengaruh dari rakyatnya. Dalam pertemuan itu khalifah berkata, “Wahai rakyatku sekalian! apakah kalian ingin aku menjadi khalifah seperti Abu Bakar dan Umar?. Mereka pun menjawab, “ya”. Kemudian khalifah berkata lagi, “Jika kalian menginginkan hal itu, maka jadilah kalian seperti rakyatnya Abu bakar dan Umar! karena Allah Subhanahu wa ta’ala yang maha bijaksana akan memberikan pemimpin pada suatu kaum sesuai dengan amal-amal yang dikerjakannya. Jika amal mereka buruk, maka pemimpinnya pun akan buruk. Dan jika amal mereka baik, maka pemimpinnya pun akan baik. (Syarh Riyadh Al-Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin)"
Sepenggal kisah diatas adalah peristiwa yang terjadi dalam lingkaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang didalamnya terdapat dua komponen penting, yaitu rakyat dan pemimpinnya. Pemimpin, sekaligus pemerintahannya memiliki kewajiban mengayomi dan melindungi rakyatnya, sekaligus wewenang untuk bertindak tegas demi terciptanya keberlangsungan hidup yang tertib, teratur dan aman. Sedangkan rakyat berkewajiban mentaati setiap peraturan dan kebijakan pemimpinnya.
Setiap rakyat akan selalu mendambakan pemimpin ideal yang bertanggungjawab melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan memenuhi setiap hak rakyat. Akan tetapi pemimpin yang didambakan tersebut bukan sesuatu yang ada begitu saja. Pemimpin ternyata juga sangat tergantung kepada seperti apa kualitas rakyat yang dipimpinnya. Kisah diatas merupakan penjelasan atas kenyataan ini. Yaitu kenyataan bahwa pemimpin yang baik hanyalah untuk rakyat yang baik. Dan pemimpin yang buruk hanyalah untuk rakyat yang buruk. Firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Dan begitulah kami jadikan pemimpin sebagian orang-orang yang dzalim bagi sebagian lagi, disebabkan apa-apa yang mereka usahakan”. (QS. Al-An’am: 29)
Allah Subhanahu wa ta’aala terkadang menjadikan apa yang menimpa hamba-Nya adalah balasan bagi amalan yang diperbuatnya. Pemimpin yang buruk, yang memerintah dengan dzalim, yang menggunakan kekuasaannya untuk merampas hak rakyat dan berbuat semena-mena boleh jadi adalah balasan yang Allah segerakan didunia bagi bangsa yang selalu berbuat dosa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hambanya, maka Allah akan akan menyegerakan balasan (bagi keburukannya) di dunia.” (HR Tirmidzi)
Semua perkara yang terjadi di dunia ini merupakan ketentuan yang Allah tetapkan dengan kebijaksaan dan keadilannya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan pernah berbuat dzalim dan aniaya terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam al-Quran Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan bahwasannya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya. (QS. Ali Imran: 182).
Dan dalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai hambaku! sesungguhnya aku mengharamkan kedzaliman atas diriku.” (HR. Muslim).
Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki setiap ketentuannya menjadi bahan pelajaran dan renungan bagi hamba-hamba-Nya. Menjadi peringatan yang menyadarkan manusia kepada kewajibannya sebagai hamba, juga kepada kebesaran Allah yang maha berhak atas setiap urusan seluruh makhluk-Nya. Kesadaran ini sejatinya mendorong setiap manusia mengerti hakikat peran hidupnya di dunia. Termasuk kesadaran sebagai rakyat, bahwa pemimpin yang adil dan amanah adalah barang mahal yang harus ditebus dengan ketaatan, moralitas, dan semua nilai baik rakyatnya.
Wallahu’alam.

Jangan Remehkan Anak Muda

Umar bin Khattab radhiallahu’anhu seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah membawa Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma yang juga sahabat Rasulullah yang saat itu masih muda, ke perkumpulan orang-orang tua yang pernah ikut perang Badar.
Orang-orang tua ini berkata kepada Umar, “Kenapa kau bawa anak kecil ini? di rumah kita juga ada”. Umar menjawab, “Yaa, begitulah”.
Sampai satu saat Umar bin Khattab sengaja mengumpulkan orang-orang tua tersebut dan turut mengundang pula Ibnu Abbas. Umar bertanya kepada orang-orang tua tersebut, “Apa komentar kalian tentang ayat,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)?
Sebagian orang-orang tua itu menjawab, “Allah menyuruh kita untuk memuji dan minta ampun kepada-Nya ketiak datang pertolongan Allah”. Sebagian lainnya diam saja.
Kemudian Umar bin Khattab bertanya kepada Ibnu Abbas, “Benar begitu Ibnu Abbas?”. Ibnu Abbas menjawab, “Tidak!”. Umar menyahut, “Lantas bagaimana?”.
Ibnu Abbas menjawab, “Ayat itu adalah sinyalemen tentang dekatnya kematian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah memberitahunya dengan ayatnya, “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda ajalmu Muhammad, oleh karena itu “Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”
Umar mengatakan, “Nah, ini tafsir yang saya tahu”.
Jadi, jangan remehkan anak muda, lihat bagaimana Ibnu Abbas muda punya ilmu yang tidak ada pada orang-orang tua. Tapi, perlu diingat pula, anak muda jangan belagu “petantang petenteng”, lihat bagaimana Ibnu Abbas muda tidak mau “pamer” ilmu kecuali setelah ditanya oleh Umar bin Khattab.
Cerita ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-Nya(4294), dapat dibaca pula di tafsir Ibnu Katsir tentang surat An Nashr

Sejarah dan artinya "Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriq"



O'k welll..
Setelah saya ikut PMII, entah mengapa rasanya pengen ngepost hal yang satu ini. Kelihatannya sepele bukan? tapi yang namanya sejarah siapa yang tau.

oleh PMII Rayon Ad-Dakhil (FAI) UNISDA Lamongan

artikel/tulisan yang ada di bawah ini adalah berita harlah PMII yang ke-46, yang saya ambil di website NU Online.

"Saat acara peringatan hari lahir (Harlah) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke-46 . Sejumlah tokoh nasional, Angkatan ’66 dan ratusan kader PMII hadir dalam acara yang digelar di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/4).
Dalam sambutannya, Gus Dur menegaskan tentang komitmen keindonesiaan & kebangsaan dengan cara mengawal terus Indonesia dengan Islam ala Indonesia.
Setelah berbicara panjang lebar, dia bermaksud menutup pidato dengan ucapan "wabillahi taufiq wal hidayah", tapi tiba-tiba dia diam sejenak....
"saya kok mau salah menyampaikan salam penutup, harusnya kan yang khas NU" jelas cucu pendiri NU ini.
"dulu ulama-ulama NU, sepakat menggunakan wabillahi taufiq wal hidayah untuk ucapan penutup dan Nahdliyiin  wajib mengikuti. tapi setelah musim kampanye pemilu tahun 70-an, Golkar memakai ucapan itu untuk menutup setiap pidato kampanyenya." ungkap Ketua Dewan Syuro PKB ini
Nah setelah itu, lanjut Gus Dur, para ulama NU sepakat menggantinya dengan yang lain. muncul ide agar di ganti dengan "Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq"  dari seorang Kiai kharismatik asal Magelang lalu dipakailah hingga kini.
"jadi Golkar minjem "wabillahi taufiq wal hidayah" dari NU dan belum dikembalikan hingga saat ini," kata Gus Dur yang diiringi gelak tawa hadirin, termasuk Slamet Effendi Yusuf yang hadir saat itu.
"untuk itu saya akhiri dengan wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq," ungkap Gus Dur menyudahi. (NU Online).

Mungkin kalian menganggap ini konyol, tapi menurut saya tulisan diatas  "sesuatu banget".
Ok, dan 1 lagi.. tidak tahu ini keawaman, ketidak tahuan, keteledoran entah kesengajaan sering kita mendengar ucapan "illa awamith Thariq" BUKAN "ila".

kita mungkin masih awam, tapi kita tak harus terjerumus terlalu dalam oleh keawaman kita bukan? Memang itu suatu hal sepele, tapi ingat Se-Sepele apapun itu hati-hati lho, ntar kalo jadi Sepuluh.

Kalo dari segi pandang arti kata:
ila = ke / menuju
illa = kecuali

sedang, kalo kita terus-terusan mengucap ataupun menulis "illa awamith Thariq" itu sama hal-nya kita mengucap bahkan mungkin bisa diartikan berdo'a "Kecuali jalan yang lurus" [ Teriak dan katakan OH NOo..!!! ].
jadi arti kalimat wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq ialah "Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus [ISLAM]". and finally, Alhamdulillah.. kita tahu itu.

Kaedah Fiqih (3): Ketika Dua Maslahat Bertabrakan

Manakah yang mesti dipilih ketika ada dua manfaat atau maslahat bertemu dalam satu waktu? Itu yang akan dikaji dalam kelanjutan kaidah fikih Islam kali ini.
Syaikh As Sa’di mengatakan dalam bait syairnya,
فإن تزاحم عدد المصالح
يقدم الأعلى من المصالح
Apabila bertabrakan beberapa maslahat
Maslahat yang lebih utama itulah yang lebih didahulukan

Kaedah ini banyak tidak diperhatikan oleh kebanyakan orang. Ketika ada dua maslahat bisa dilakukan berbarengan, maka syukur Alhamdulillah. Namun suatu saat ada dua maslahat bertabrakan dalam satu waktu, maka kita bisa memilih manakah yang lebih manfaat.

Pengertian Kaedah

Yang dimaksud dengan kaedah di atas adalah jika seorang hamba tidak mungkin melakukan salah satu dari dua maslahat kecuali dengan meninggalkan maslahat yag lain, maka apa yang mesti ia lakukan saat itu? Kaedah di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi seperti itu hendaklah kita pilih manakah yang lebih manfaat. Walau nantinya akan meninggalkan maslahat yang lebih ringan.

Dalil Pendukung

Dalil-dalil yang mendukung kaedah di atas adalah firman Allah Ta’ala,
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (QS. Az Zumar: 55).
فَبَشِّرْ عِبَادِ , الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 17-18). Ayat-ayat ini menunjukkan untuk mengikuti yang “ahsan”, artinya yang lebih  baik atau yang lebih banyak maslahatnya.

Penerapan Kaedah

Dalam masalah amalan demikian adanya. Ada amalan yang lebih utama dari yang lain. Di sini kami akan beri contoh beberapa penerapan kaedah di atas:
  1. Maslahat untuk orang banyak lebih diutamakan daripada maslahat untuk diri sendiri. Menuntut ilmu agama akan bermanfaat untuk orang banyak. Oleh karenanya, menuntut ilmu jika bertabrakan dengan shalat sunnah, maka menuntut ilmu lebih didahulukan. Karena manfaat shalat sunnah akan kembali pada diri sendiri beda halnya dengan menuntut ilmu.
  2. Shalat wajib lebih utama dari shalat sunnah. Oleh karenanya, jika shalat wajib telah ditegakkan, maka shalat tersebut lebih didahulukan dari shalat tahiyatul masjid, shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya.
  3. Maslahat yang sifatnya khusus karena bertepatan dengan kondisi tertentu lebih diutamakan dari maslahat yang sifatnya umumu. Contoh, membaca Al Qur’an itu baik secara umum dan amalan ini adalah sebaik-baik dzikir. Namun setelah shalat yang dianjurkan adalah berdzikir, bukan membaca Al Qur’an. Begitu pula ketika pagi-petang, yang lebih diutamakan membaca dzikir pagi-petang jika dzikir tersebut belum ditunaikan.
  4. Maslahat yang berkaitan dengan zat ibadah lebih didahulukan dari mashalat yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Contoh dalam ibadah thawaf. Dianjurkan ketika thowaf saat tiga putaran pertama untuk melakukan roml (berjalan cepat). Ini adalah maslahat dalam zat ibadah thowaf. Ketika itu juga dianjurkan untuk lebih dekat Ka’bah. Ini anjuran yang berkaitan dengan tempat. Jika saat itu tidak bisa melakukan roml di dekat Ka’bah karena kondisi yang penuh sesak dan hanya bisa dilakukan jauh dari Ka’bah, maka lebih utama tetap melakukan roml meskipun jauh dari Ka’bah. Alasannya, maslahat yang berkaitan dengan zat yaitu roml, lebih didahulukan dari maslahat yang berkaitan dengan tempat, yaitu dekat dengan Ka’bah.
Kaedah ini bisa jadi pertimbangan untuk permasalahan fikih lainnya. Alhamdulillah, dengan memahami kaedah ini kita dapat beramal atau mengambil hukum dengan tepat. Kita berharap agar kebaikan yang ada bisa dilakukan berbarengan. Karena semakin banyak kebaikan yang dilakukan, itulah yang lebih baik. Namun jika tidak memungkinkan melakukan semuanya, maka jangan tinggalkan sebagian. Lakukanlah mana yang lebih maslahat.
Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus

Kaedah Fiqih (2): Semua Ajaran Islam Membawa Maslahat

Sahabat, perlu diketahui bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat dan bertujuan untuk meniadakan bahaya bagi hamba. Misalnya Islam melarang rokok, itu karena adanya maslahat dan supaya hamba terhindar dari bahaya berupa penyakit dan berujung kematian. Begitu pula jilbab pada wanita misalnya, tidaklah wanita diperintahkan tanpa ada maslahat, namun ada maksud baik di balik itu. Wanita akan lebih terjaga ketika mengenakannya. Namun kadang maslahat tersebut diketahui, kadang masih samar bagi kita.
Melanjutkan kaedah fikih yang sebelumnya telah dikaji, saat ini kita membahas kaedah tentang maslahat.
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan,
الدين مبني على المصالح
في جلبها والدرء للقبائح
Ajaran Islam dibangun di atas maslahat
Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudhorot (bahaya)
Bait sya’ir di atas mengandung pengertian bahwa ajaran Islam dibangun atas dasar meraih maslahat dan menolak mudhorot (bahaya).

Maslahat akan Kembali pada Hamba

Maslahat yang dimaksud adalah manfaat. Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah karena Allah itu ghoni (Maha Kaya). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15). Maslahat atau manfaat yang dimaksud adalah yang dirasakan oleh hamba.

Maslahat Bukanlah Ditimbang dengan Hawa Nafsu

Maslahat di sini juga bukanlah menurut hawa nafsu atau yang dikehendaki oleh jiwa. Karena seperti itu sudah keluar dari makna diin atau ketaatan. Yang namanya ketaatan adalah dengan mengikuti perintah Allah. Oleh karena itu, syari’at Islam melarang seseorang untuk memperturut hawa nafsu sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shad: 26). Intinya, mengikuti hawa nafsu hanya memberi dampak dhoror (bahaya) dan tidak mendatangkan maslahat selamanya.

Cara Mengetahui Maslahat dan Mudhorot

Ada beberapa macam metode dalam mengenali hal ini yang dilakukan oleh beberapa golongan.
1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa maslahat dan mudhorot bagi hamba dinilai dari logika. Inilah prinsip dari mereka yang mengangumi dan mengedepankan akal.
2. Golongan Asya’iroh berpendapat bahwa patokan baik dan buruk adalah syari’at. Dusta misalnya barulah dikatakan jelek dilihat dari penyandaran perbuatan tersebut, bukan dilihat dari sisi perbuatan dusta itu sendiri. Dusta baru dibenarkan sebagai hal yang keliru ketika telah dijelaskan oleh syari’at. Jika tidak, maka tidaklah demikian menurut mereka. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akal dan dalil syar’i. Setiap orang pasti sudah mengetahui bahwa dusta itu merupakan perbuatan yang jelek, sedangkan jujur adalah perbuatan yang baik –walau tidak diterangkan dengan dalil-. Oleh karena itu, perbuatan jelek sudah dianggap jelek oleh syari’at sebelum Rasul itu ada. Namun hukuman dari perbuatan jelek tersebut diperuntukkan jika Rasul telah diutus di suatu kaum. Allah Ta’ala berfirman,
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf” (QS. Al A’rof: 157). Menurut Asya’iroh bahwa sandaran penilaian perbuatan baik dan jelek adalah dari syar’i. Jika yang benar sesuai pemahaman mereka, seharusnya ayat tadi berbunyi, “Yang menyuruh mereka mengerjakan sesuai yang diperintahkan pada mereka”. Padahal ayat tersebut tidak memaksudkan demikian. Karena perbuatan ma’ruf sudahlah dinilai baik meskipun belum datang syari’at.
Pendapat yang benar mengenai cara menilai sesuatu itu maslahat ataukah tidak yaitu dengan sendirinya meskipun tidak ada dalil logika maupun dalil syar’i. Jujur sudah dapat dinilai baik meskipun sebelum adanya syari’at atau sebelum dinalarkan dengan logika. Namun kapan seseorang baru terkena hukuman ketika dusta? Untuk masalah hukuman baru ada setelah tegak dalil, setelah sampainya syari’at atau diutus seorang Rasul sebagai pemberi keterangan (hujjah). Sebagaimana AllahTa’ala berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al Isro’: 15). Demikianlah pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah yang tepat.

Dalil-Dalil Pendukung: Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat

Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat dan dipastikan pula setiap ajaran Islam bermaksud untuk mengenyampingkan mudhorot pada hamba. Yang menerangkan bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-dalil berikut ini:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3). Sempurnanya nikmat adalah dengan sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika kita tilik satu per satu, kadang diberikan alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaedah ini, para ulama sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat tulisan tersendiri tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.

Macam-Macam Maslahat

Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti shalat lima waktu. Ada pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
  1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.
  2. Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi maslahat menjadi:
  1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
  2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh. Yang haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang berdampak dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa memperoleh pahala jika ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:
  1. Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.
  2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan ketiga hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya mafsadat.
    Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).
  3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:
    1. Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).
    2. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita menetapkan seperti ini berarti kita menganggap syari’at Islam benar-benar sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa sebagai jawaban dari segala permasalahan, serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.

Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat

Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat tersebut. Seperti memakan daging unta bisa membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».
Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan  daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR. Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu setelah memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu maslahat yang diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang karena selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah maslahat yang jelas kita ketahui.

Bolehkah seseorang dalam beramal berniat untuk menggapai tujuan duniawiyah?

Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah berkata, “Seharusnya setiap orang berniat untuk meraih pahala dan balasan di sisi Allah, yang diharapkan adalah wajah Allah dan kebahagiaan di akhirat. Jika seseorang semata-mata mencari keuntungan duniawi, maka boleh saja ia berniat untuk seperti itu namun pada amalan yang ada nash (dalil) yang menerangkan adanya manfaat jika melakukan amalan tersebut. Akan tetapi, jika ia berniat seperti ini, yaitu ingin menggapai dunia semata –tidak ingin mengharap pahala akhirat sama sekali-, maka di akhirat ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Begitu pula jika seseorang berniat dalam amalannya dengan niat yang bertentangan dengan maksud syari’at, maka ia jadinya berdosa. Contohnya adalah yang berniat untuk menikah karena tujuan membantu temannya yang sudah mentalak istrinya tiga kali supaya bisa halal kembali, inilah yang disebut nikah tahlil. Ini jelas tujuan yang bertentangan dengan syari’at dan jadinya berdosa” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 56).
Tentang masalah niatan duniawi dalam amalan diterangkan dalam ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ , أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud: 15-16).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 422-423).
Intinya, beramal sholeh untuk menggapai dunia bisa kita rinci menjadi dua:
1. Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
2. Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat)” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.
Alhamdulillah, akhirnya kita dapat memahami bagaimana Islam membangun ajarannya di atas maslahat. Jadi, tidak ada kerugian jika kita melakukan berbagai ajaran Islam. Dalam hal jilbab, meskipun terasa berat oleh sebagian wanita, namun pasti jilbab itu mengandung maslahat yaitu lebih menjaga diri wanita. Begitu pula dalam masalah jenggot, laki-laki diperintahkan untuk memeliharanya dan dibiarkan begitu saja tanpa dirapikan atau dicukur habis. Lantas apa maslahatnya? Jika tidak diketahui bentuk maslahatnya pun, tetap kita mesti menjalaninya. Karena jika kita tidak mengetahui, belum tentu maslahatnya tidak ada. Dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangkan maslahat di dunia maupun akhirat. Yakinlah dengan ajaran Islam yang indah …
Masih berlanjut pada keadah yang berikutnya, semoga Allah mudahkan.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriq