Refleksi Pergerakan Mahasiswa
Ketika perjuangan pembebasan rakyat melalui parlementer mengalami kelemahan, maka perjuangan ekstra parlementer menjadi penting untuk mendorong rakyat secara langsung berpartisipasi untuk mengadakan perubahan. Kita melihat sendiri bagaimana kemandulan parlemen mulai dari masa kampanye hingga pasca pemilu justru membuat rakyat terilusi dengan figur dan kharisma seseorang daripada kritis pada program politiknya. Politik populisme (budaya politik parokial) seperti ini hanya menjadikan rakyat sebagai penonton dalam setiap kebijakan-kebijakan ekonomi-politik yang menyangkut hajat hidup rakyat.
Kemenangan kecil rakyat yang anti-kediktatoran (sekaligus kelemahan strategis gerakan mahasiswa) yaitu menggeser posisi Suharto dan Habibie dari tampuk kekuasaannya ternyata telah diambil dan digantikan dengan oleh para borjuis demokrat (seperti Gus Dur, Mega, Amin Rais, Akbar Tandjung dan dsb) dengan politik parlementarisnya yaitu dengan memoderasi kesadaran massa rakyat yang kharismatik-emosional ke arah politik parlemen sehingga partisipasi politik rakyat hanya terjadi pada saat pemilu. Politik parlementaris dan kesadaran politik rakyat kharismatik-emosional seringkali dimanfaatkan oleh para teknokrat-teknokrat politik untuk mendapatkan legitimasi pada setiap kebijakan politik. Kesadaran anti-kediktatoran yang timbul pada rakyat mengalami moderasai oleh para borjuis demokrat dan mereka bisa mengambil kepemimpinan di kesadaran massa rakyat tersebut.
Kelemahan Strategi Gerakan Mahasiswa
Beberapa penyebab gagalnya gerakan mahasiswa dalam mengambil kepemimpinan dikalangan massa rakyat dan berhasilnya para kaum borjuis demokrat mengambil kepemimpinan di massa rakyat adalah sebagai berikut;
Pertama; kekuatan politik borjuis demokrat telah mempunyai struktur organisasi, atau wadah-wadah untuk mendapatkan dukungan jauh sebelum Soeharto tumbang. Tumbangnya Soeharto semakin mempermudah para politisi dari kekuatan politik utama untuk mengokohkan wadah-wadah dan struktur organisasi yang dimiliki untuk memberikan dukungan politik. PDI Perjuangan misalnya mewarisi struktur organisasi PDI dan mendirikan posko dikampung-kampung untuk mengikat dukungan yang luas dari rakyat. PKB berbasiskan massa NU dan berbagai ormas yang berafiliasi dengan NU. PAN jelas mendapatkan dukungan luar dari ormas Islam Muhamadiyah yang tersebar luas diseluruh tanah air dengan berbagai ormas yang berafiliasi. Partai Golkar jelas menggunakan struktur birokrasi dan berbagai ormas yang berafiliasi dengan Partai Golkar selama 32 tahun. PPP adalah partai yang merupakan kelanjutan dari sistem politik Orba dan sudah mempunyai struktur berskala nasional.
Kedua; Terdapatnya Figur-Figur politik aliran sebagai hasil dari politik massa mengambang dari jaman orde baru dan masih tertanamnya sisa-sisa feodalisme dikepala rakyat, dalam bentuk primodialisme dan kultus individu. Figur-figur politik mainstream ini mendapatkan dukungan penuh dari berbagai media massa, nasional dan internasional sebagai elit-elit politik nasional. PDIP mengorganisir primodilaisme pada diri Megawati Soekarnoputri dan Soekarnoisme untuk menarik dukungan yang luas. PKB mempunyai kyai kharismatik seperti Gus Dur, yang oleh warga NU sudah dikenal sebagai seorang wali. Amien Rais berhasil direkayasa oleh tim propaganda yang baik sebagai tokoh reformasi. Dan Akbar Tanjung yang dinilai memiliki pemikiran moderat dan mampu menjembatani friksi-friksi pada kekuatan Golkar dikondisikan oleh status quo untuk menghadang kekuatan reformis. Para elit politik inilah yang mengambil keuntungan optimal dari mundurnya Soeharto untuk kepentingan kelompoknya.
Ketiga; Kegagalan dari gerakan progresif-radikal yang dipimpin oleh mahasiswa dalam membuat wadah-wadah bagi rakyat, untuk menandingi wadah-wadah dan struktur organisasi yang sudah dimiliki oleh kekuatan politik utama (mainstream). Hasil-hasil mobilisasi selama menolak Sidang Istimewa gagal dipermanenkan menjadi wadah-wadah rakyat. Komite-komite aksi yang dibentuk, atau koalisi-koalisi yang dibuat oleh mahasiswa kalah dalam menghadapi kemampuan organisasi oposisi moderat dalam memberikan wadah bagi rakyat. Dengan tidak adanya wadah-wadah bagi rakyat, ketika momentum pemilu tiba, dengan mudahnya, partai politik utama, memasok kesadaran parlementarian kedalam kepala masa dengan saluran wadah-wadah yang mereka miliki dan alat-alat propangada yang mereka kuasai.
Keempat; kegagalan dari gerakan radikal yang dipelopori oleh mahasiswa untuk membangun suatu koalisi atau persatuan yang luas untuk menandingi kekuatan politik utama yang moderat. Sektarianisme yang akut ini menyebabkan kapasitas perlawanan untuk melawan dalam satu kesatuan aksi dan komando tidak terjadi sama sekali. Gerakan boikot pemilu sebagai hasil pertemuan mahasiswa nasional di Bali, tidak dapat menjadi kekuatan karena tidak ada kesatuan aksi untuk memimpin suatu gerakan boikot pemilu.
Kelima; Kelompok progresif-radikal, sangat sedikit sumberdaya dan jangkauan propaganda organisasinya dibandingkan kekuatan politik mainstream, yang sudah membangunnya sejak jaman rejim Soeharto berkuasa. Kelompok prograsif dan radikal mahasiswa tidak berakar sampai ke bawah dan tidak mempunyai dukungan logistik yang kuat sehingga membuat kelompok ini tidak mempunyai kapasitas untuk menandingi parpol mainstream. Betapapun militannya kerja-kerja gerakan mahasiswa, tetap saja kita tidak bisa berilusi akan mendapatkan dukungan jutaan orang bila struktur organisasi belum mempunyai pengaruh hingga di tengah-tengah kehidupan dan tempat tinggal massa.
Keenam; alat-alat dan produksi propanganda yang minim. Kekuatan politik mainstream, mempunyai dana logistik besar untuk mengorganisir kampanye dan menarik dukungan. Media massa mainstream juga berpihak pada mereka, karena itu pasokan ideologi mereka ketengah massa dapat ditemukan dimana-mana setiap hari, terus menerus tanpa henti. Di koran-koran besar hampir setiap hari PDI Perjuangan atau PKB dan Amien Rais jadi berita utama. Selama kampanye boleh dikatakan gerakan progresif-radikal ditenggelamkan oleh gelombang propaganda yang maha besar dari partai-partai mainstream. Kualitas alat-alat propaganda juga sangat maju. Radio dan televisi digunakan untuk memasok program-program dan memobilisasi dukungan politik. Tanpa produksi propaganda dan pengorganisiran propaganda, sulit bagi gerakan radikal untuk menyaingi partai-partai borjuasi yang kaya dana dan kaya materi dan jaringan propaganda.
Ketujuh; perlawanan-perlawanan ekonomis kaum buruh baik secara spontan maupun melalui wadah serikat buruh tidak berkembang secara meluas meskipun dalam suasana krisis ekonomi. Kondisi wadah-wadah perjuangan buruh yang ada seperti SBSI, FSPSI Reformasi, FNPBI. Padahal perlawanan-perlawanan ekonomi kaum buruh, yang ekonomis dan spontan sekalipun sangat penting untuk menjaga suhu politik tetap memanas. Perlawanan ekonomis dan spontan yang besar yang dapat mempengaruhi suhu politik, bukan pemogokan satu-dua pabrik saja. Kecilnya perlawanan buruh, membuat sektor ini kurang dapat menjadi penopang bagi pemanasan politik. Ini berbeda dengan tahun 1993-1994 ketika pemogokan-pemogokan kaum buruh yang masif, meskipun ekonomis dan spontan, tapi dia berhasil menjadi penjaga suhu politik yang efektif, atau menyeret kelas sosial lain untuk mendukung perjuangan kaum buruh, seperti aksi-aksi SMID dengan kaum buruh sepanjang tahun 1990-an.