ASWAJA
Target dan Tujuan :
- Peserta memahami pengertian dasar Aswaja, konteks kesejarahan yang melatarbelakangi lahirnya Aswaja;
- Peserta memahami perkembangan historis Aswaja dan tokoh-tokohnya, serta sejarah pergulatan (historisitas) ASWAJA.
- Peserta dapat memahami Aswaja secara Signifikan dan komprehensif yang termanifestasikan dalam perjalanan sejarah global dan nasional;
- Peserta dapat mengimplementasikan nilai-nilai Aswaja sebagai ruh perjuangan.
- Peserta mampu menjadikan Aswaja sebagai dasar pijakan dalam melakukan perubahan yang dicita-citakan bersama.
Pokok Bahasan :
- Aswaja secara historisitas
- Nilai-Nilai Aswaja Dalam Arus Sejarah;
- Aswaja secara normativitas;
- Aswaja dalam pemahaman PMII;
- Nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja; tawassuth, tasamuh, tawazun dan ta’adul
- Aswaja sebagai Manhajul fikr (metode berfikir) dan mannhaj al-taghayyur al-ijtima’i (pola perubahan sosial);
- Implementasi Nilai-Nilai Aswaja dalam konteks gerakan.
AHLUSSUNNAH WAL
JAMA’AH
1. Aspek Historisitas
Alur
Perjalanan Aswaja Dalam GeoSosPol Global
Aswaja
dalam alur perjalanan sejarah merupakan faham alternatif kalau tidak dikatakan
reksioner, sebab perjalanan sejarah dalam faham Aswaja merupakan jalan
tengah terhadap faham- faham yang berkembang pada saat itu (faham jabariyah,
faham Mu’tazilah, faham qodariyah dan lainnaya), perjalanannya juga tidak
selamanya mulus di karenakan banyak sekali kendala dan hambatan serta tentangan
dari faham- faham yang berkembang sebelumnya seperti disebutkan diatas, pernah
juga Aswaja melakukan perselingkuhan dengan penguasa setempat demi
mempertahankan eksistensinya, ini kemudian yang patut kita kritisi kenapa faham
Aswaja diselewengkan pemaknaannya demi kekuasaan?
Secara
singkat, kita akan melihatnya dalam table berikut;
NO
|
Periode
|
Momen Sejarah
|
1.
|
Abu Bakar
|
Embrio pepecahan
umat islam dimulai Pasca rasulullah wafat, terbukti banyak umat islam yang
keluar dari agama islam, untungnya hal ini mampu di selesaikan
oleh Abu Bakar sehingga persatuan umat islam tetap terjaga Beliau juga mampu
Menumpas Gerakan Nabi Palsu Dan Kaum Murtad. Dalam Hubungan Luar Negeri,
Penyerangan Terhadap Basis-Basis Penting Romawi Dan Persia Dimulai.
|
2.
|
Umar Bin Khattab
|
Setelah Abu Bakar,
benih perpecahan semakin menjadi terutama dari mereka bani Umayah yang tidak
senang terhadap pemimpin baru mereka yaitu Umar Ibnu Khattab mereka mulai
menghembuskan fitnah-fitnah terhadap Umar sampai kemudian mampu membuat
rekayasa social, yang akhirnya terbunuhlah Umar oleh seorang majusi yaitu Abu
lu’lu Al-Majusi– sebelum beliau wafat Romawi berhasil diusir Dari Tanah
Arab- Terjadi Pengkotakan Antara Arab Dan Non-Arab – Wilayah Islam mencapai
Cina dan Afrika Utara.
|
3.
|
Utsman Bin Affan
|
Al-qur’an
dikondifikasi dalam mushaf Utsmani –oerpecahan mencapai puncaknya–
pemerintah labil karena gejolak politik dan isu KKN – Armada maritim
dibangun.
|
4.
|
Ali Nin Abi Thalib
|
Perang Jamal –
pemberontakan Mua’wiyah – arbitrase Shiffin memecah belah umat menjadi tiga
kelompok besar : Syi’ah, Khawarij, Murjiah – Ibnu Abbas dan Abdullah bin Umar
mengkonsolidir gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada pihak
manapun dan lebih memusatkan perhatian pada penyelamat Al-qur’an dan
sunnah – Akhir dari sistem Syura.
|
5.
|
Bani Umayah
|
Kembalinya negara
Klan atau dinasti Islam mencapai Andalusia dan Asia tengah – madzhab-madzhab
teologis bermunculan; terutama Qodariyah, Jabariyah, Murjiah moderat dan
Mu’tazilah – Aswaja belum terkonsep secara baku (Abu Hanifah)
|
6.
|
Bani Abbasiyah
|
Mu’tazilah menjadi
ideology Negara Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam Aswaja, termasuk
Ahmad bin Hambal – Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disistematisasi oleh
al-Syafi’ie, teologi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, Sufi oleh al Junaid dan
Al-Ghazali – terjadi pertarungan antara doktrin aswaja dengan kalangan
filosof dan tasawuf falsafi – Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari
dialektika pemikiran – Perang Salib dimulai – Kehancuran Baghdad oleh Mongol
menjadi awal penyebarannya umat beraliran Aswaja sampai ke wilayah
Nusantara.
|
7.
|
Umayah Andalusia
|
Aswaja menjadi
madzhab dominan – kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal kebangkitan Eropa –
Aswaja berdialektika dengan fisafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd dan Ibnu
‘Arabi.
|
8.
|
Turki Utsmani
|
Aswaja menjadi
ideology negara dan sudah dianggap mapan – kesinambungan pemikiran hanya
terbatas pada syarah dan hasyiyah – Romawi berhasil diruntuhkan
– perang salib berakhir dengan kemenangan umat Islam – kekuatan Syi’ah
(safawi) berhasil dilumpuhkan – Mughal berdiri kokoh di India.
|
9.
|
Kolonialisme
|
Masuknya paham
sekularisme – pusat peradaban mulai berpindah ke Eropa – Aswaja menjadi basis
perlawanan terhadap imperialisme – kekuatan kekuatan umat Islam kembali
terkonosolidir.
|
10.
|
Akhir Turki Utsmani
|
Lahirnya turki muda
yang membawea misi restrukturissi dan reinterpretasi Aswaja – gerakan Wahabi
lahir di Arabia-kekuatan Syi’ah terkonsolidir di Afrika urata – Gagasan
pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani – Abduh memperkenalkan
neo-Mu’tazilah – al-Ikhwan al-Muslimun muncul di Mesir sebagai perlawanan
terhadap Barat – Berakhirnya sistem kekhalifahan dan digantikan oleh nasionalisme
(nation-state) – Aswaja tidak lagi menjadi ideologi Negara.
|
11.
|
Pasca PD II
|
Aswaja sebagai
madzhab keislaman paling dominant – diikuti usaha-usaha kontekstualisasi
aswaja di negara-negara Muslim-lahirnya negara Muslim Pakistan yang berhaluan
aswaja – kekuatan Syi’ah menguasai Iran – lahirnya OKI namun hanya bersifat
simbolik belaka.
|
Alur
perjalanan Aswaja Dalam Sejarah Nusantara (Ke-Indonesia-an)
Perjalanan panjang sejarah Aswaja konteks Indonesia, berawal dari kedatangan
islam. Ada kesinambungan antara alur GeoSosPol Aswaja dengan sejarah Islam
nusantara. Kedatangan Islam di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal: pertama,
Kesultanan Pasai di Aceh yang berdiri sekitar abad ke-13, dan kedua,
Wali Sanga di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke-15 bersamaan dengan
runtuhnya Majapahit. Namun, dalam perkembangan Islam selanjutnya, yang lebih
berpengaruh terhadap perkembangan islam Indonesia adalah Wali Sanga yang
dakwah Islamnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa saja, tetapi menggurita ke
seluruh pelosok nusantara. Yang penting untuk dicatat pula, semua sejarawan
sepakat bahwa diamping faktor yang lain, Wali Sanga-lah yang dengan cukup brilian
mengkontekskan Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga
lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, NU kemudian PMII.
NO
|
Periode
|
Momen Sejarah
|
1.
|
Islam Pra Wali
Songo
|
Masyarakat muslim
bercorak maritim-pedagang berbasis di wilayah pesisir – mendapat hak istimewa
dari kerajaan-kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil – fleksibilitas
politik – dakwh dilancarkan kepada para elit penguasa setempat.
|
2.
|
Wali Songo
|
Konsolidasi
kekuatan pedagan muslim membentuk konsorsium bersama membidani berdirinya
kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai dasar Negara – sistem
kasta secara bertahap dihapus – Islamisasi dengan media kebudayaan – Tercipta
asimilasi dan pembauran Islam dengan budaya lokal bercorak Hindu-Budah –
Usaha mengusir Portugis gagal.
|
3.
|
Pasca Wali Songo –
Kolonialisme Eropa
|
Penyatuan jawa oleh
Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis –
kekuatan Islam masuk ke padalaman – kerajaan Mataram melahirkan corak baru
Islam Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik – Mulai terbentuknya struktur
masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan
struktur kasta dengan gaya baru – kekuatan tradisionalis terpecah belah,
banyak pesanten yang menjadi miniatur kerajaan feudal – kekuatan orisinil
aswaja hadir dalam bentuk perlawanana agama rakyat dan perjuangan menentang
penjajahan – Arus Pembaruan Islam muncul di minangkabau melalui kaum Padri –
Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi – Ide nasionalisme
mengemuka – kekuatan islam mulai terkonsolidir dalam Sarekat Islam (SI).
Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis.
|
4.
|
Kelahiran NU
|
Komite Hijaz
sebagai embrio, kekuatan modernis dengan paham wahabinya sebagai motivasi, SI
tidak lagi punya pengaruh besar, jaringan ulama’ tradisional dikonsolidir
dengan semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid’ah, dan khurafat, Qanu Asasi
disusun sebagai landasan organisasi NU, aswaja (tradisi) sebagai basis perlawanan
terhadap kolonialisme, fatwa jihad mewarnai revolusi kemerdekaan.
|
5.
|
NU Pasca
Kemerdekaan
|
NU menjadi partai
politik, masuk dalam aliansi Nasakom – PMII lahir sebagai underbow di wilayah
mahasiswa – Berada di barisan terdepan pemberantasan PKI – Ikut membidani
berdirinya orde baru – Ditelikung GOLKAR dan TNI pada pemilu 1971 – Deklarasi
Munarjati menandai independennya PMII – NU bergabung dengan PPP pada pemilu
1977 – kekecewaan akan politik menumbuhkan kesadaran akan penyimpangan
terhadap Qanun Asasi dan perlunya Khittah.
|
6.
|
NU Pasca Khittah
|
Kembali
menjadi organisasi kemasyaratan – menerima Pancasila sebagai asas tunggal –
Menjadi kekuatan utama civil society di Indonesia – posisi vis a vis Negara –
Bergabung dalam aliansi nasional memulai reformasi menjatuhkan rezim orde
baru.
|
7.
|
NU Pasca Reformasi
|
Berdirinya PKB
sebagai wadah politik nahdliyyin – Naiknya Gus Dur sebagai presiden – NU
mengalami kegamangan orientasi – kekuatan civil society mulai goyah – PMII
memulai tahap baru interdependensi – (pasca Gus Dur sampai saat ini,
kekuatan tradisionalis menjadi terkotak-kotak oleh kepentingan politis).
|
2. Aspek Normativitas
Aswaja
Dalam Pemahaman PMII
Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar
jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh
K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi yaitu: dalam ilmu
aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah,
Malik bin Anas, Muhammad bin Idres Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam
tashawuf akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaidi al-Baghdadi dan Abu
Hamid al-Ghazali.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, pemahaman seperti ini tidak lagi
relevan untuk dijadikan sebagai gerak PMII. Sebab, pemahaman demikian cenderung
menjadikan Aswaja sebagai sesuau yang beku (rigid) dan tidak bisa diutak-atik
lagi. Pemakanaannya hanya dibatasi pada produk pemikiran saja. Padahal produk
pemikiran, secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks)
yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja
harus senaniasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang yang kemudian
disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan
Aswaja sebagai ideology terbuka.
Berbeda dengan NU, PMII memaknai Aswaja sebagai manhajul fikr
yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang
sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan social yang meliputi
masyarakat muslim waktu itu (Said Aqil Siradj, 1996). Dari manhajul fikr
inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik dibidang aqidah, syari’ah,
maupun akhlaq/tasawuf, yang walaupun beraneka ragam tetap brada dalam satu ruh.
PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i yaitu
pola perubahan social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan
rasulullah dan para sahabatnya. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai manhaful
fikr mapun manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah sebagaimana
yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi waashabi (segala
sesuatu yang akan datang dari rasul dan para sahabatnya). Yang kemudian
diwujudkan dalam empat nilai: tawassuth (moderat), tasamuh (toleran),
tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan).
Maka untuk memahami Aswaja secara Signifikan dan komprehensif, kita harus
mencari akar-akar histories yang menunjukkan persinggungan antara nilai-nilai
Aswaja dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Kita harus merelasikan pemahaman
kita terhadap keempat nilai (normatifitas) Aswaja dengan perjalanan sejarahnya
(historisitas). Dari pemahaman yang komprehensif terhadap dua komponen tersebut
kita akan menemukan titik temunya pada Nilai-Nilai Dasar PMII.
Nilai-Nilai
Aswaja Dalam Arus Sejarah
A. Tawassuth
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat,
independen (tidak memihak ke kiri dan ke kanan) tetapi memiliki sikap dan
pendirian. Khairul ujur awsthuha (paling baiknya sesuatu adalah
pertengahannya). Tawassuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu
bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Dalam rentang sejarah, kita
menemukan bahwa nilai ini mewujud dalam pemikiran para imam yang telah disebut
diatas.
Di bidang aqidah atau teologi, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi hadir sebagai dua
pemikir yang tawassuth. Karena mereka mampu menkomparasikan dua pemikiran (Mu’tazilah
yang terlalu rasional sampai mendudukan akal diatas segalanya termasuk
Al-Qur’an dan As-sunnah dan jabariyah yang sama sekali tidak menempatkan akal
sebagai salah satu metode untuk berfikir dan mencari kebenaran ).
Disinilah nilai tawassut yang dikembangkan oleh keduanya (Al-Asy’ari dan
Al-Maturudi)
Di bidang
fiqih atau hukum Islam kita juga mendapatkan Abu Hanifah, Malik bin Anas,
Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal sebagai para pemikir yang konsep fiqih
Islamnya di dasarkan kepada Al-quran danAs-sunnah, tanpa kemudian menafikan
akal sebagai metode untuk berfikir.
Di bidang tasawuf Al-Junaid dan Al-Ghazali tampil dengan pemikiran tasawuf yang
berusaha mencari sinergitas antara kelompok falsafi dengan konservatif. Dia
berhasil melahirkan konsep tasawuf sunni yang menjadikan taqwa (syari’ah)
sebagai jalan utama menuju haqiqah. Dengan demikian, dia berhasil mengangkat
citra tasawuf yang waktu itu dianggap sebagai ajaran sesat sebab terlalu
syari’ah, seperti ajaran sufi Al-Hallaj. Apa yang dilakukan oleh al-Junaid dan
Al-Ghazali sama dengan Wali Sanga pada masa awal Islam di Jawa ketika menolak
ajaran tasawuf Syekh siti Jenar.
B. Tasamuh
Pengertian
tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah pola pemikiran
dan sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar
sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup
sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan
akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling
melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.
Kita bisa menengok sejarah, bagaimana sikap para imam yang telah disebutkan di
atas terhadap para penentang dan ulama-ulama lain yang berbeda pendapat dengan
mereka, selama ajaran mereka tidak mengancam eksistensi agama islam.
Lihat pula bagaimana sikap Wali Sanga terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha)
yang sudah lebih dulu ada di Jawa. yang trpenting bagi mereka adalah
menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling
menghargai, dan hormat-menghormati.
Di wilayah kebudayaan, kita bisa menengok bagaimana Wali Sanga mampu menyikapi
perbedaan ras, suku, adapt istiadat, dan bahasa sebagai elandinamis bagi
perubahan masyarakat kea rah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan
oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan,
keanekaragaman saling melengkapi. Unity in diversity.
C. Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik
yang bersifat antar individu, antar struktur social, antara Negara dan
rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk
hubungan yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan pihak tertentu dan
merugikan pihak yang lain. Tetapi, masing-msing pihak mampu menempatkan dirinya
sesuai dengan fungsinya tanpa menggaggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang
diharapkan adalah teciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah social yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat)
seluruh umat manusia. tidak ada yang merasa lebih dari yang, yang membedakan
hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan ekspoitasi seseorang
kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan. Maka kita lihat dalam
sejarah, Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin dengan tegas menolak dan berusaha
menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang dengan egas menentang
penjajahan dan kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.
Dalam wialayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara
(penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup
kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi
segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga
senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kita lihat bagaimana
sikap Ahmad bin Hanbal kepada Al-Makmun yang menindas para ulama yang menolah
doktrin mu’tazilah. Dia membangun basis perlawanan kerakyatan untuk menolak
setiap bentuk pemaksaan Negara, walaupun dia dan para ulama yang lain harus
menahan penderitaan dan hukuman yang menyakitkan. Namun kita juga bisa melihat
contoh lain sikap seorang al-Ghazali terhadap pemimpin yang adil bernama
Nizam al-Muluk. Dia ikut berperan aktif dalam mendukung setiap program
pemerintahan, memberi masukan atau kritik, dan hubungan yang mesra antara
ulama’ dan umara’ pun tercipta. Kita juga bisa membandingkannya denga
posisi Wali Sanga sebagai penasehat, pengawas dan pengontrol kerajaan Demak.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan system eknomi yang
seimbang antara posisi Negara, pasar dan masuarakat. Kita melihat bagaimana
Umar bin abdul azis mampu membangun ekonomi Islam yang kokoh dengan
menyeimbngkan fungsi Negara (baitul mal) sebagai pengatur sirkulasi keuangan
dan pendistribusian zakat;Mewajibkan setiap pengusaha, pedagang, dan
pendistriusi jsa (pasar) untuk mengeuakan zakat sebagai control terhadap
kekayaan individu dan melarang setiap bentuk monopoli; Serta menyalurkan zakat
kepada rakyat yang tidak mampu sebagai modal usaha dan investasi. Sehingga
dalam waktu tiga tahun saja telah terbangun struktur ekonomi yang stabil dan
kesejahteraan hidup terjamin.
Dalam wilayah ekologi, tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak
eksploiratif (israf) dan merusak lingkungan. Banyak contoh dalam
sejarah yang menunjukkan sikap ramah terhadap lingkungan. Larang menebang pohon
waktu berperang misalkan, atau anjuran untuk reboisasi (penghijauan) hutan.
Begitu juga ketika para intelekuta muslim semacam al-khawarizmi, al-Biruni, dan
yang lain menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan lahan peneitian ilmu
pengetahuan.
D Ta’adul
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang
merupakan pola integrasil dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Keadilan inilah
yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi,
harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di
sini adalah keadilan social. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas
kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah
membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat
Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi
peradaban Islam yang agung.
IMPLEMENTASI
NILAI-NILAI ASWAJA DALAM KONTEKS GERAKAN
Aswaja
sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’I bisa kita tarik dari nilai-nilai
perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi
masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan
dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan
itu :
Ø Basis
Nilai, yaitu
nilai kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diiemplementasikan secara konsekwen
dan penuh komitmen.
Ø Basis
Realitas, yaitu
keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah.
Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang
konsisten dengan Aswaja, termasuk di dalamnya NU kemudian PMII. Konsistensi di
sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik
dan dikonstruk ulang, sesuai dengan perkembangan zaman dan lokalitas. Dia hadir
tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan
realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatic.
Maka empat nilai yang
dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai
dengan perkembangan teori-teori social dan ideology-ideologi dunia.
Tawassuth sebagai
pola pikir, harus kia maknai sebagai pola yang seimbang antara
kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus
memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi
dalam tradisi. Pemaknaanya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu
paradigma kritis transformative.
Tasamuh sebagai
pola sikap harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka saling
menghormati baik antar sesama maupun antar umat beragama. Dari manapun asalnya
apapun agamanya dimanapun kedudukannya asal mempunyai tujuan yang sama
yaitu menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan membebaskan rakyat dari
segala bentuk penindasan, kita harus saling bahu-membahu dalam merealisasikan
tujuan mulia tersebut tanpa memandang status mereka. PMII harus bersikap
inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk
primordialisme Eksklusivisme dan fanatisme keagamaan.
Tawazun sebagai
pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan egalitarianisme dalam ranah
social, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar sesama manusia, antara
laki-laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di wilayah ekonomi PMII
harus melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar
dan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan orientasi ekonomi di
tangan pasar sehingga fungsi negara hanya sebagai obligator belaka dan
masyarakat ibarat robot yang harus selalu menuruti kehendak pasar, atau
sosialisme yang menjadikan Negara sebagai kekuatan tertinggi yang mengontrol
semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan bagi pasar dan masyarakat
untuk mengembangkan potensi ekonomin. Di wilayah politik, isu yang diusung
adalah mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan Negara. PMII tidak
menolak kehadiran Negara, karena Negara melalui pemerintahannya merupakan
implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan adalah fungsi
Negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di
bidang ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk eksploitasi alam hanya
semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang berlebiahn. Maka, kita harus
menolak nalar positovisik yang diusung oleh neo-liberalisme yang
menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi memenuhi kebutuhan bahan
mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi
kemajuan teknologi dan percepatan produksi.
Ta’adul sebagai pola integral
mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional
maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. keadilan
dalam berpikir, bersikap dan relasi. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik,
social, hukum, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan
menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh,
bukan sekadar menunggu anugeah dan pemberian turun dari langit.
0 komentar:
Posting Komentar