Kaidah Fiqih (1), Niat Syarat Seluruh Amal

Salah satu ilmu alat yang penting dipelajari adalah ilmu qowa’id fiqh (kaedah fikih). Ilmu ini amat membantu sekali untuk menyelesaikan permasalahan fikih. Dengan menguasai dan memahami kaedah, berbagai permasalahan bisa terjawab. Bahkan satu kaedah bisa berlaku untuk banyak bab. Di antara bahasan Qowa’id Fiqh yang menarik dipelajari adalah bait sya’ir yang disusun oleh Syaikh As Sa’di rahimahullah. Mudah-mudahan kami bisa menuntaskan pembahasan ini dan menggali-gali faedah berharga di dalamnya.
النِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ العَمَلِ
بِهَا الصَّلاَحُ وَالفَسَادُ لِلْعَمَلِ
Niat syarat seluruh amal
Karena niat akan baik atau jeleknya suatu amal
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm4M_3VjFsUka6V4vgJiET3NVmpgejuv6RIxgqIeTpjr8Hc1xbrJKgG_eDmCCl_EE082uxCS6LZRhW4CmZDTgDSoWRVwRO6IXsq-ZiR57-kxkfYv4UNHM75fI5k6IRMuW06kSJgEuSxyA/s1600/Niat.jpgKaedah ini adalah kaedah yang amat bermanfaat dan paling mulia. Kaedah ini berlaku pada setiap cabang ilmu.
Baiknya amal badan dan amal maliyah (harta), begitu pula amal hati dan amal anggota badan, semuanya tergantung niat. Rusaknya amal-amal tersebut juga tergantung niat.
Jika niat seseorang baik, maka baik pula ucapan dan amalannya. Namun jika niat seseorang jelek, maka jelek pula ucapan dan amalan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”[1]

Niat itu ada dua fungsi

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.
Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah muthlaq). Semuanya ini dibedakan dengan niat.
Yang termasuk dalam bahasan niat juga adalah ikhlas. Ikhlas yang dimaksudkan adalah kadar tambahan dari sekedar niat beramal semata. Dalam ikhlas ada tambahan selain niat beramal, ada pula niat kepada sasaran ibadah (al ma’mul lahu). Inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas artinya seorang hamba memaksudkan amalnya untuk mengharapkan wajah Allah, tidak ingin mengharapkan yang lainnya.

Di antara contoh penerapan kaedah ini

Kaedah ini berlaku untuk seluruh ibadah seperti shalat yang wajib dan yang sunnah, zakat, puasa, i’tikaf, haji, ‘umroh, seluruh ibadah yang diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, udhiyah (qurban), hadyu (sembelihan di Makkah), nadzar dan kafarot, jihad, memerdekakan budak, dan membebaskan budak mudabbar.
Kaedah ini juga berlaku untuk perkara yang mubah. Jika perkara yang mubah diniatkan agar kuat dalam melakukan ketaatan pada Allah, atau perkara mubah sebagai sarana kepada ketaatan, contohnya adalah makan, minum, tidur, mencari nafkah, nikah, maka amalan ini pun bernilai pahala. Contoh lainnya adalah hubungan biologis dengan istri atau dengan budak wanitanya dengan maksud untuk menjaga diri dari zina, atau tujuannya untuk menghasilkan keturunan yang sholeh atau untuk memperbanyak umat, jika niatannya seperti ini, maka akan membuahkan pahala.

Hal yang perlu diperhatikan

Perkara yang ditujukan pada hamba ada dua macam, yaitu (1) perkara yang diperintahkan untuk dikerjakan dan (2) perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan.
Untuk perkara yang diperintahkan untuk dikerjakan, maka harus ada niat di dalamnya. Niat ini adalah syarat sahnya amalan tersebut dan juga syarat untuk memperoleh pahala. Contoh ibadah yang diperintahkan adalah shalat.
Untuk perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan, seperti menghilangkan najis pada pakaian, badan atau tempat, seperti pula  melunasi utang yang wajib, maka untuk hal melepaskan kewajiban semacam ini tidak disyaratkan adanya niat. Tetap sah, walaupun tidak berniat.
Adapun agar amalan itu bernilai pahala, maka harus ada niat di dalamnya, yaitu niat mendekatkan diri pada Allah. Wallahu a’lam.
***
Alhamdulillahillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diterjemahkan dari Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, 1420 H, hal. 15-17.

0 komentar:

Posting Komentar