Ke-PMII-an
Target dan Tujuan :
- Peserta memahami akar historis PMII;
- Peserta memahami sejarah independensi dan interpendensi PMII;
- Peserta mampu memahami menganalisa sejarah perkembangan PMII.
- Peserta mampu memahami orientasi PMII kedepan
Pokok Bahasan:
- Cikal bakal proses kelahiran kelahiran PMII;
- Reformulasi dan reorientasi gerakan PMII;
- Benata gerakan PMII;
- Bagaimana kader PMII harus bersikap.
1. Cikal Bakal dan
proses Kelahiran PMII
PMII, yang sering kali disebut Indonesia Moslem Student Movement atau
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdatul Ulama) yang
terlahir dari kandungan Departemen Pengurus Tinggi Ikatan Pelajar Nahdatul
Ulama (IPNU) yang juga anak NU. Status anak cucu ini pun diabaikan dalam
dokumen kenal lahir yang dibuat di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri
Khodijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H.
Meski begitu bukan lahirnya PMII berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan
rintangan yang dihadapinya. Hasrat mendirikan mahasiswa NU memang sudah lama
bergejolak, namun pihak PBNU belum memberikan Grenn Light, belum
menganggap perlu adanya organisasi tersendiri untuk mewadahi anak-anak NU yang
belajar di Perguruan Tinggi.
Namun kemauan anak-anak muda itu tak pernah kendor, bahkan terus berkobar dari
kampus ke kampus. Bisa dimengerti karena kondisi sosial politik pada dasawarsa
50-an memang sangat memungkinkan untuk melahirkan organisasi baru. Banyak
organisasi mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya misalnya SEMII
(dengan PSII), KMI (dengan PERTI), HMI (dengan MASYUMI), IMM (dengan
MUHAMMADUYAH) dan HIMMAH (dengan WASHLIYAH) serta masih banyak lagi. Wajar jika
anak-anak NU kemudian ingin mendirikan wadah sendiri dan bernaung dibawah panji
dunia. Dan benar, keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk Ikatan
Mahasiswa NU (IMANU) pada akhir 1955, yaitu yang diprakasai oleh beberapa
pimpinan pust dari IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang karena PBNU menolak keberadaannya. Bisa
dipahami kenapa PBNU bertindak keras, karena pada waktu itu IPNU baru saja
lahir yaitu pada tanggal 24 Februari 1954. apa jadinya jika baru lahir saja
belum terurus sudah terburu menangani yang lain, logis sekali. Jadi keberadaan
PBNU bukan pada prinsip berdiri atau tidak adanya IMANU tapi lebih merupakan
pertimbangan waktu, pembagian tugas dan evektifitas waktu.
Dan baru setelah wadah “Departemen” itu dinilai tidak lagi efektif, tidak cukup
kuat untuk menampung aspirasi mahasiswa NU, konferensi besar IPNU (14-16 Maret
1960 di Kaliurang Jogjakarta) sepakat mendirikan organisasi tersendiri.
Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU,
dalam sebuah musyawarah selama 3 hari di Taman Pendidikan Khodijah, Surabaya.
Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah
lama mereka impikan.
Bertepatan dengan itu, ketua umum PBNU, K.H. Idham Kholid, memberikan lampu
hijau, bahkan semangat pula membakar semangat agar mahasiswa NU menjadi kader
partai, menjadi mahasiswa yang berprinsip. Ilmu itu untuk diamalkan bukan
ilmu itu untuk ilmu. Maka dengan itu lahirlah organisasi mahasiswa dibawah
naungan payung NU, pada tanggal 17 April 1960, lewat kandungan Departemen
Perguruan Tinggi IPNU. Dan bayi yang lahir itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII).
Dengan demikian, ide
dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri. Bahwa
kemudian harus berpanji dibawah panji NU, itu bukan sekedar pertimbangan
praktis semata, misalnya karena kondisi politik saat itu yang nyaris
menciptakan iklim depedensi sebagai suatu kemutlakan. Tapi lebih dari itu
keterikatan PMII pada NU memang sudah terbentuk dan memang sengaja dibangun
atas dasar kesamaan nilai, kultur, aqidah, cita-cita bahkan pola berpikir,
bertindak dan berprilaku.
Sebagai
Organisasi yang telah berusia hampir setangah abad, semestinya PMII telah
mencapai periode kematangan. PMII yang didirikan pada t6anggal 17 april 1960
sebagai bagian integral dari organisasi social keagamaan terbesar didunia, NU,
PMII memang berfungsi sebagai sayap mahasiswa NU disamping GP Ansor disayap
pemuda, fatayat disayap remaja putri, muslimat disayap ibu-ibu, IPNU/IPPNU
disayap pelajar, dan banom-banom yang lainya. Maka komitmen PMII kepada
jam’iyyah NU adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Maka,
keterlibatan PMII dimasa-masa awal berdirinya sebagai penyokong partai NU
adalah sebuah keniscayaan.
Pda tahun
1974 ketika NU melakukan fusi politik dengan partai-partai islam lain dalam
PPP, maka deklarasi independensi dimunarjati malang juga merupakan pilihan
sejarah yang sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan independensi dari NU
karena PMII memang harus menegaskan visinya bukan sebagian dari partai politi.
Demikian pula deklarasi Interdependensi pada decade 80-an yang kembali
menegaskan kesaling-tergantungan antara PMII-NU adalah bukti PMII tidak akan
dapat meninggalkan komitmenya terhadap jam’iyyah NU.
Selama
ini, kepengurusan di PMII dan organisasi-organisasi mahasiswa Estra lainya
semisal HMI, IMM, PMKRI, GMNI, dan GMKI adalah sebagai batu loncatan untuk
menduduki kursi-kursu di KNPI yang didukung oleh pemerintah. Nyata-nyatanya
hanya organisasi yang pro pemerintah yang mendapatkan kursi di KNPI dan selanjutnya
kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan mendapatkan tempat
dalam kultur politik orde baru yang sangat nepotis. Artinya antrian menuju
kursi pemerintahan tidak akan pernah sampai kecuali memakai setrategi lain yang
berada diluar mainstream dan PMII melakukan itu tatkala HMI yangb menjadi rival
utamanya selama ini justru sedang bermesraan dengan rezim ordebaru melalui
politik ijo royo-royo, dimana lebih dari 300 orang anggota MPR adalah alumni
HMI. Akhirnya PMII bersama organ-organ mahasiswa forum cipayung minus HMI
mendirikan sebuah forum bernama forum kebangsaan pemuda Indonesia (FKPI)
sebagai bentuk keprihatinan atas mengentalnya politik aliran diindonesia.
Klimaks
dari resistensi terhadap pemerintahan orde baru adalah gerakan mahasiswa di
penghujung 1990-an dimana PMII berdiri dibarisan paling depan dalam
menghancurkan rezim orde
baru.
Mengenai makna dari PMII sendiri dari mulai kata “PERGERAKAN” adalah bahwa
mahasiswa sebagai insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi
ke-Tuhan-an dan kemanisian agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada
didalam kuwalitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Khalifah
Fil Ard. Kata “MAHASISWA” yang terkandung dalam PMII adalah golongan
generasi muda yang menuntut ilmu di Pergruuan Tinggi yang mempunyai
kebebasan dalam berpikir, bersikap dan bertindak kritis terhadap terhadap
kemapanan struktur yang menindas, disamping itu mahasiswa ala PMII adalah
sebagai insane Religius, insane Akademik, insane sosial, dan insane Mandiri.
Kata “ISLAM” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama pembebas
terhadap fenomena realitas sosial dengan paradigma Ahlusunnah Wal Jama’ah yang
konsep terhadap pendekatan agama islam secara proposional antara Iman, Islam
dan Ihsan yang dalam pola pikir prilaku tercerminkan sifat-sifat selektif,
akonodatif dan interatit. Kemudian yang terakhir, kata “INDONESIA” yang
terkandung dalam PMII adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai
Falasafah ideology bangsa (Pancasila) dan UUD ’45 dengan kesadaran akan
keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran berwawasan nusantara.
2. Reformulasi dan
Reorentasi Gerakan PMII
Pada awal-awal berdirinya, PMII masih menjadi gerakan Underbouw
(Departement) NU baik secara structural (IPNU) maupun fungsionarisnya,
karena pada waktu itu situasi sosial politik sangat panas dan banyak dari
organisasi-organisasi mahasiswa yang berfailasi dengan kekuatan politik untuk
sepenuhnya mendukung dan menyokong kemenangan partai, jadi gerakan PMII masih
cenderung kepolitik praktis. Hal ini terjadi sampai tahun 1972.
Dalam perjalanan sejarahnya, PMII terus mengadakan refleksi-aksi, refleksi aksi
gerakan yang selama ini diambilnyauntuk menjadi cermin transformative
bagi gerakan-gerakan PMII dimasa yang akan dating, keterlibatan PMII dalam
dunia politik praktis yang terlalu jauh dalam Pemilu tahun 1971 itu akhirnya
sangat merugikan PMII sendiri sebagai organisasi mahasiswa, yang akibatnya PMII
banyak kemunduran dalam segala aspek gerakan. Hal ini juga berakibat
buruk pada beberapa Cabang PMII beberapa daerah.
Kondisi ini akhirnya menyadarkan PMII untuk mengkaji ulang gerakan yang selama
ini dilakukannya, khususnya dalam dunia politik praktis. Setelah melalui
beberapa pertimbangan yang mendalam, maka pada musyawarah besar pada tanggal
14-16 Juli 1972 PMII mencetuskan deklarasi INdependet di Munarjati Lawang Jawa
Timur, yang lebih dikenal dengan “Deklarasi Munarjati”.
Sejak itulah PMII secara formal structural lepas di bawah naungan NU, dan
langsung membuka akses dan ruang sebesar-besarnya tanpa berpihak kepada salah
satu partai politik. Hingga saat ini indepedensi itu masih terus dipertahankan
dengan penegasan “Penegasan Cibogo” pada tanggal 08 Oktober 1989. bentuk dari
indepedensi itu sebagai upaya merespon pembangunan dan modemitas bangsa, dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh
ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sampai kemudian PMII melakukan
reformasi gerakan lagi pada kongres X PMII pada tanggal 27 Okteber 1991 di
Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Pada kongres tersebut ada keinginan untuk
mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU, yang akhirnya melahirkan
pertanyaan. “Dekralarasi Indepedensi PMII-NU”. Penegasan hubungan itu
didasarkan kepada pemikiran-pemikiran antara lain : pertama, adanya
ikatan kesejarahan (historisitas) yang mempertautkan antara pemikiran PMII-NU.
Adapun kehidupan menyatakn dirinya sebagai organisasi independent, hendaknya
tidak dipahami secara sempit sebagai upaya mengurangi, apalagi menghapuskan
arti ikatan kesejarahan. Kedua, adanya persamaan paham keagamaan
dan kebangsaan. Bagi PMII-NU keutuhan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesia-an
merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi setiap muslim Indonesia.
3. Menata Gerakan
PMII
Perubahan-perubahan dalam system politik nasional yang pada akhirnya membawa
dampak pada bentuk dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk PMII sendiri. Disamping
itu, sikap kritis yang amat dibutuhnkan mendorong para aktifis PMII secara
dinamis sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita gerakan
mahasiswa sebagai agen of social change.
Sebenarnya pada era tahun 1980an, PMII ulai serius masuk dan melakukan
advokasi-advokasi terhadap amsayrakat serta menemukan kesadaran baru dalam
menentukan pilihan dan corak gerakan. Setidaknya ada dua momentum/peristiwa
besar yang ikut mewarnai pergulatan PMII dalam wilayah kebangsaan Pertama,penerimaan
Pancasila sebagai satu-satunya asa tunggal, kedua, kembalinya NU ke
Khittah 1926 pada tahun 1984 ketika itu PMII mampu memposisikan yang cukup
startegis karena:
- PMII memberikan prioritas kepada upaya pengembangan intelektual;
- PMII menghindari bentuk dari praktek politijk praktis dan bergerak diwilayah pemberdayaan Civil Society;
- PMII lebih mengembangkan sikap dan paradigma kritisme terhadap Negara.
Pada
periode tahun 1985-an PMII juga melakukan reorientasi dan reposisi gerakan yang
akhirnya menghasilkan rumusan Nilai dasar Pergerakan (NDP), sepanjang
tahun1990-an, PMII telah melakukan diskursif-diskursif serta issue-issue
penting, seperti Islam Transformatif, demokrasi, pluralisme, Civil Society,
masyarakat komunikatif, teori kritik postmodernisme.
Seirang
dengan naikknya Gus Dur menjadi orang nomor Wahid yang ke-4 di Indonesia. Serta
merta aktifis PMII mengalami kebingungan apakah Civil Society harus berakhir
ketika Gus Dur yang selama ini menjadi tokoh dan simpul talimperjuangan Civil
Society naik ketampuk kekuasaan. Dan ketika Gus Dur dijatuhkan dari kursi
presiden, patradigma yang selama ini menjadi aras gerak PMII telah patah.
Paradigma ini kemudian diganti dengan Paradigma Kritis Transformatif.
Bagaimana Kita
sebagai Kader PMII harus bersikap?
Adalah suatu
keniscayaan dan tanggung jawab besar kita sebagai generasi penerus bangsa
umunya dan kader PMII khususnya untuk berfikir kritis terhadap setiap kebijakan
Negara yang kadang kala sama sekali tidak memihak terhadap rakyat kecil dan
cenderung menindas, begitupun secara mikro kebijakan yang ada dikampus kita,
kampus putih, kampus ra kyat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yang kedua kita
sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan kearah yang lebih baik
serta responsive terhadap realitas social yang ada.
Landasan
filosofis PMII adalah Nilai-Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang disitu ada Hablun
Minallah (hubungan dengan Allah), Hablun Minannas (hubungan manusia
dengan sesama manusia), Hablun minal ‘alam (hubungan dengan alam.
Landasan berfikir PMIII adalah Ahli Sunna Wal Jama’ah (Aswaja) yang
didalamnya ada tasammuh (toleran), tawazzun (keseimbangan), tawassuth
(moderat), ta’addul (keadilan) yang menjadi Manhajul Fikr
(Metodologi berfikir) dan sebagai instrument perubahan. Landasan
paradigmatiknya adalah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) yang menjadikan
perangkat perubahan analisa yang menjadi mencita-citakan perubahan pada semua
level/bidang. Ketiga landasan itulah yang dijadikan acuan/pedoman yang haruas
dimiliki oleh setiap kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII).
Sedangkan
individu-individu yang membentuk komunitas PMII dipersatukan oleh konstruk
ideal seorang manusia. Secara ideologis, PMII merumuskan sebagai Ulul-albab.
(Citra diri seorang kader PMII). Komunitas ulul-albab ini dicirikan:
- Berkesadaran historis-primordial atas relasi Tuhan-manusia-alam;
- Berjiwa optmis-transendental atas kemampuan mengatasi masalah lehidupan;
- Berfikir secara dialektis;
- Bersikap Kritis;
- Bertindak Transformatif.
Visi dan
Misi besar PMII harus tetap kita kawal yang nantinya menuju pada terbebasnya
masa rakyat, pekerja dan terciptanya tatanan masyarakat adil makmur sepenuhnya.
0 komentar:
Posting Komentar