Ke-PMII-an bag.3



ASWAJA
Target dan Tujuan :
  1. Peserta memahami pengertian dasar Aswaja, konteks kesejarahan yang melatarbelakangi lahirnya Aswaja;
  2. Peserta memahami perkembangan historis Aswaja dan tokoh-tokohnya, serta sejarah pergulatan (historisitas) ASWAJA.
  3. Peserta dapat memahami Aswaja secara Signifikan dan komprehensif yang termanifestasikan dalam perjalanan sejarah global dan nasional;
  4. Peserta dapat mengimplementasikan nilai-nilai Aswaja sebagai ruh perjuangan.
  5. Peserta mampu menjadikan Aswaja sebagai dasar pijakan dalam melakukan perubahan yang dicita-citakan bersama.
Pokok Bahasan :
  1. Aswaja secara historisitas
  2. Nilai-Nilai Aswaja Dalam Arus Sejarah;
  3. Aswaja secara normativitas; 
  4. Aswaja dalam pemahaman PMII;
  5. Nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja; tawassuth, tasamuh,  tawazun dan ta’adul
  6. Aswaja sebagai Manhajul fikr (metode berfikir) dan mannhaj al-taghayyur al-ijtima’i (pola perubahan sosial);
  7. Implementasi Nilai-Nilai Aswaja dalam konteks gerakan.


AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

1. Aspek Historisitas
Alur Perjalanan Aswaja Dalam GeoSosPol Global
Aswaja dalam alur perjalanan sejarah merupakan faham alternatif kalau tidak dikatakan reksioner, sebab perjalanan sejarah dalam faham Aswaja  merupakan jalan tengah terhadap faham- faham yang berkembang pada saat itu (faham jabariyah, faham Mu’tazilah, faham qodariyah dan lainnaya), perjalanannya juga tidak selamanya mulus di karenakan banyak sekali kendala dan hambatan serta tentangan dari faham- faham yang berkembang sebelumnya seperti disebutkan diatas, pernah juga Aswaja melakukan perselingkuhan dengan penguasa setempat demi mempertahankan eksistensinya, ini kemudian yang patut kita kritisi kenapa faham Aswaja diselewengkan pemaknaannya demi kekuasaan?    
Secara singkat, kita akan melihatnya dalam table berikut;

NO
Periode
Momen Sejarah
1.
Abu Bakar
Embrio pepecahan umat islam dimulai Pasca rasulullah wafat, terbukti banyak umat islam yang keluar dari agama islam, untungnya   hal ini mampu di selesaikan oleh Abu Bakar sehingga persatuan umat islam tetap terjaga Beliau juga mampu Menumpas Gerakan Nabi Palsu Dan Kaum Murtad. Dalam Hubungan Luar Negeri, Penyerangan Terhadap Basis-Basis Penting Romawi Dan Persia Dimulai.
2.
Umar Bin Khattab
Setelah Abu Bakar, benih perpecahan semakin menjadi terutama dari mereka bani Umayah yang tidak senang terhadap pemimpin baru mereka yaitu Umar Ibnu Khattab mereka mulai menghembuskan fitnah-fitnah terhadap Umar sampai kemudian mampu membuat rekayasa social, yang akhirnya terbunuhlah Umar oleh seorang majusi yaitu Abu lu’lu Al-Majusi– sebelum beliau wafat  Romawi berhasil diusir Dari Tanah Arab- Terjadi Pengkotakan Antara Arab Dan Non-Arab – Wilayah Islam mencapai Cina dan Afrika  Utara.
3.
Utsman Bin Affan
Al-qur’an dikondifikasi dalam mushaf  Utsmani –oerpecahan mencapai puncaknya– pemerintah labil karena gejolak politik dan isu KKN – Armada maritim dibangun.
4.
Ali Nin Abi Thalib
Perang Jamal – pemberontakan Mua’wiyah – arbitrase Shiffin memecah belah umat menjadi tiga kelompok besar : Syi’ah, Khawarij, Murjiah – Ibnu Abbas dan Abdullah bin Umar mengkonsolidir gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada  pihak manapun dan lebih memusatkan perhatian pada penyelamat  Al-qur’an dan sunnah – Akhir dari sistem Syura.
5.
Bani Umayah
Kembalinya negara Klan atau dinasti Islam mencapai Andalusia dan Asia tengah – madzhab-madzhab teologis bermunculan; terutama Qodariyah, Jabariyah, Murjiah moderat dan Mu’tazilah – Aswaja belum terkonsep secara baku (Abu Hanifah)
6.
Bani Abbasiyah
Mu’tazilah menjadi ideology Negara Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam Aswaja, termasuk Ahmad bin Hambal – Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disistematisasi oleh al-Syafi’ie, teologi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, Sufi oleh al Junaid dan Al-Ghazali – terjadi pertarungan antara doktrin aswaja dengan kalangan filosof dan tasawuf falsafi – Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari dialektika pemikiran – Perang Salib dimulai – Kehancuran Baghdad oleh Mongol menjadi awal penyebarannya umat beraliran Aswaja sampai ke wilayah Nusantara. 
7.
Umayah Andalusia
Aswaja menjadi madzhab dominan – kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal kebangkitan Eropa – Aswaja berdialektika dengan fisafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd dan Ibnu ‘Arabi.
8.
Turki Utsmani
Aswaja menjadi ideology negara dan sudah dianggap mapan – kesinambungan pemikiran hanya terbatas pada syarah dan hasyiyah – Romawi berhasil diruntuhkan – perang salib berakhir dengan kemenangan umat Islam – kekuatan Syi’ah (safawi) berhasil dilumpuhkan – Mughal berdiri kokoh di India.
9.
Kolonialisme
Masuknya paham sekularisme – pusat peradaban mulai berpindah ke Eropa – Aswaja menjadi basis perlawanan terhadap imperialisme – kekuatan kekuatan umat Islam kembali terkonosolidir.
10.
Akhir Turki Utsmani
Lahirnya turki muda yang membawea misi restrukturissi dan reinterpretasi Aswaja – gerakan Wahabi lahir di Arabia-kekuatan Syi’ah terkonsolidir di Afrika urata – Gagasan pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani – Abduh memperkenalkan neo-Mu’tazilah – al-Ikhwan al-Muslimun muncul di Mesir sebagai perlawanan terhadap Barat – Berakhirnya sistem kekhalifahan dan digantikan oleh nasionalisme (nation-state) – Aswaja tidak lagi menjadi ideologi Negara.
11.
Pasca PD II
Aswaja sebagai madzhab keislaman paling dominant – diikuti usaha-usaha kontekstualisasi aswaja di negara-negara Muslim-lahirnya negara Muslim Pakistan yang berhaluan aswaja – kekuatan Syi’ah menguasai Iran – lahirnya OKI namun hanya bersifat simbolik belaka.

Alur perjalanan Aswaja Dalam Sejarah Nusantara (Ke-Indonesia-an)

            Perjalanan panjang sejarah Aswaja konteks Indonesia, berawal dari kedatangan islam. Ada kesinambungan antara alur GeoSosPol Aswaja dengan sejarah Islam nusantara. Kedatangan Islam di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal: pertama, Kesultanan Pasai di Aceh yang berdiri sekitar abad ke-13, dan kedua, Wali Sanga di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke-15 bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun, dalam perkembangan Islam selanjutnya, yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan islam  Indonesia adalah Wali Sanga yang dakwah Islamnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa saja, tetapi menggurita ke seluruh pelosok nusantara. Yang penting untuk dicatat pula, semua sejarawan sepakat bahwa diamping faktor yang lain, Wali Sanga-lah yang dengan cukup brilian mengkontekskan Aswaja  dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, NU kemudian PMII.

NO
Periode
Momen Sejarah
1.
Islam Pra Wali Songo
Masyarakat muslim bercorak maritim-pedagang berbasis di wilayah pesisir – mendapat hak istimewa dari kerajaan-kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil – fleksibilitas politik – dakwh dilancarkan kepada para elit penguasa setempat.
2.
Wali Songo
Konsolidasi kekuatan pedagan muslim membentuk konsorsium bersama membidani berdirinya kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai dasar Negara – sistem kasta secara bertahap dihapus – Islamisasi dengan media kebudayaan – Tercipta asimilasi dan pembauran Islam dengan budaya lokal bercorak Hindu-Budah – Usaha mengusir Portugis gagal.
3.
Pasca Wali Songo – Kolonialisme Eropa
Penyatuan jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis – kekuatan Islam masuk ke padalaman – kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik – Mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur kasta dengan gaya baru – kekuatan tradisionalis terpecah belah, banyak pesanten yang menjadi miniatur kerajaan feudal – kekuatan orisinil aswaja hadir dalam bentuk perlawanana agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan – Arus Pembaruan Islam muncul di minangkabau melalui kaum Padri – Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi – Ide nasionalisme mengemuka – kekuatan islam mulai terkonsolidir dalam Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis.
4.
Kelahiran NU
Komite Hijaz sebagai embrio, kekuatan modernis dengan paham wahabinya sebagai motivasi, SI tidak lagi punya pengaruh besar, jaringan ulama’ tradisional dikonsolidir dengan semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid’ah, dan khurafat, Qanu Asasi disusun sebagai landasan organisasi NU, aswaja (tradisi) sebagai basis perlawanan terhadap kolonialisme, fatwa jihad mewarnai revolusi kemerdekaan.
5.
NU Pasca Kemerdekaan
NU menjadi partai politik, masuk dalam aliansi Nasakom – PMII lahir sebagai underbow di wilayah mahasiswa – Berada di barisan terdepan pemberantasan PKI – Ikut membidani berdirinya orde baru – Ditelikung GOLKAR dan TNI pada pemilu 1971 – Deklarasi Munarjati menandai independennya PMII – NU bergabung dengan PPP pada pemilu 1977 – kekecewaan akan politik menumbuhkan kesadaran akan penyimpangan terhadap Qanun Asasi dan perlunya Khittah.
6.
NU Pasca Khittah
Kembali  menjadi organisasi kemasyaratan – menerima Pancasila sebagai asas tunggal – Menjadi kekuatan utama civil society di Indonesia – posisi vis a vis Negara – Bergabung dalam aliansi nasional memulai reformasi menjatuhkan rezim orde baru.
7.
NU Pasca Reformasi
Berdirinya PKB sebagai wadah politik nahdliyyin – Naiknya Gus Dur sebagai presiden – NU mengalami kegamangan orientasi – kekuatan civil society mulai goyah – PMII memulai tahap  baru interdependensi – (pasca Gus Dur sampai saat ini, kekuatan tradisionalis menjadi terkotak-kotak oleh kepentingan politis).

2. Aspek Normativitas
Aswaja Dalam Pemahaman PMII

            Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh K.H.  M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi yaitu: dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idres Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
            Namun seiring dengan perkembangan zaman, pemahaman seperti ini tidak lagi relevan untuk dijadikan sebagai gerak PMII. Sebab, pemahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuau yang beku (rigid) dan tidak bisa diutak-atik lagi. Pemakanaannya hanya dibatasi pada produk pemikiran saja. Padahal produk pemikiran, secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja harus senaniasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang yang kemudian disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan Aswaja sebagai ideology terbuka.
            Berbeda dengan NU, PMII memaknai Aswaja sebagai  manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan social yang meliputi masyarakat muslim waktu itu (Said Aqil Siradj, 1996). Dari manhajul fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik dibidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang walaupun beraneka ragam tetap brada dalam satu ruh. PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i  yaitu pola perubahan social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai manhaful fikr  mapun manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi waashabi (segala sesuatu yang akan datang dari rasul dan para sahabatnya). Yang kemudian diwujudkan dalam empat nilai: tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul  (keadilan).
            Maka untuk memahami Aswaja secara Signifikan dan komprehensif, kita harus mencari akar-akar histories yang menunjukkan persinggungan antara nilai-nilai Aswaja dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Kita harus merelasikan pemahaman kita terhadap keempat nilai (normatifitas) Aswaja dengan perjalanan sejarahnya (historisitas). Dari pemahaman yang komprehensif terhadap dua komponen tersebut kita akan menemukan titik temunya pada Nilai-Nilai Dasar PMII.


Nilai-Nilai Aswaja Dalam Arus Sejarah
A. Tawassuth
            Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat,  independen (tidak memihak ke kiri dan ke kanan) tetapi memiliki sikap dan pendirian.  Khairul ujur awsthuha (paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya). Tawassuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Dalam rentang sejarah, kita menemukan bahwa nilai ini mewujud dalam pemikiran para imam yang telah disebut diatas.
            Di bidang aqidah atau teologi, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi hadir sebagai dua pemikir yang tawassuth. Karena mereka mampu menkomparasikan dua pemikiran (Mu’tazilah yang terlalu rasional sampai mendudukan akal diatas segalanya termasuk Al-Qur’an dan As-sunnah dan jabariyah yang sama sekali tidak menempatkan akal sebagai salah satu metode untuk berfikir dan mencari kebenaran ).  Disinilah nilai tawassut yang dikembangkan oleh keduanya (Al-Asy’ari dan Al-Maturudi)
Di bidang fiqih atau hukum Islam kita juga mendapatkan Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal sebagai para pemikir yang konsep fiqih Islamnya di dasarkan kepada Al-quran danAs-sunnah, tanpa kemudian menafikan akal sebagai metode untuk berfikir.
            Di bidang tasawuf Al-Junaid dan Al-Ghazali tampil dengan pemikiran tasawuf yang berusaha mencari sinergitas antara kelompok falsafi dengan konservatif. Dia berhasil melahirkan konsep tasawuf sunni yang menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Dengan demikian, dia berhasil mengangkat citra tasawuf yang waktu itu dianggap sebagai ajaran sesat sebab terlalu syari’ah, seperti ajaran sufi Al-Hallaj. Apa yang dilakukan oleh al-Junaid dan Al-Ghazali sama dengan Wali Sanga pada masa awal Islam di Jawa ketika menolak ajaran tasawuf Syekh siti Jenar.

B.  Tasamuh
Pengertian tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah pola pemikiran dan sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.
            Kita bisa menengok sejarah, bagaimana sikap para imam yang telah disebutkan di atas terhadap para penentang dan ulama-ulama lain yang berbeda pendapat dengan mereka, selama ajaran mereka  tidak mengancam eksistensi agama islam. Lihat pula bagaimana sikap Wali Sanga terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha) yang sudah lebih dulu ada di Jawa. yang trpenting bagi mereka adalah menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati.
            Di wilayah kebudayaan, kita bisa menengok bagaimana Wali Sanga mampu menyikapi perbedaan ras, suku, adapt istiadat, dan bahasa sebagai elandinamis bagi perubahan masyarakat kea rah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi.  Unity in diversity.

C. Tawazun
            Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik yang bersifat antar individu, antar struktur social, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. Tetapi, masing-msing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa menggaggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah teciptanya kedinamisan hidup.
            Dalam ranah social yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. tidak ada yang merasa lebih dari yang, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan ekspoitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan. Maka kita lihat dalam sejarah, Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin dengan tegas menolak dan berusaha menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang dengan egas menentang penjajahan dan kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.
            Dalam wialayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kita lihat bagaimana sikap Ahmad bin Hanbal kepada Al-Makmun yang menindas para ulama yang menolah doktrin mu’tazilah. Dia membangun basis perlawanan kerakyatan untuk menolak setiap bentuk pemaksaan Negara, walaupun dia dan para ulama yang lain harus menahan penderitaan dan hukuman yang menyakitkan. Namun kita juga bisa melihat contoh lain sikap seorang al-Ghazali terhadap pemimpin yang adil  bernama Nizam al-Muluk. Dia ikut berperan aktif dalam mendukung setiap program pemerintahan, memberi masukan atau kritik, dan hubungan yang mesra antara ulama’ dan umara’  pun tercipta. Kita juga bisa membandingkannya denga posisi Wali Sanga sebagai penasehat, pengawas dan pengontrol kerajaan Demak.
            Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan system eknomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masuarakat. Kita melihat bagaimana Umar bin abdul azis mampu membangun ekonomi Islam yang kokoh dengan menyeimbngkan fungsi Negara (baitul mal) sebagai pengatur sirkulasi keuangan dan pendistribusian zakat;Mewajibkan setiap pengusaha, pedagang, dan pendistriusi jsa (pasar) untuk mengeuakan zakat sebagai control terhadap kekayaan individu dan melarang setiap bentuk monopoli; Serta menyalurkan zakat kepada rakyat yang tidak mampu sebagai modal usaha dan investasi. Sehingga dalam waktu tiga tahun saja telah terbangun struktur ekonomi yang stabil dan kesejahteraan hidup terjamin.
            Dalam wilayah ekologi, tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak eksploiratif (israf)  dan merusak lingkungan. Banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan sikap ramah terhadap lingkungan. Larang menebang pohon waktu berperang misalkan, atau anjuran untuk reboisasi (penghijauan) hutan. Begitu juga ketika para intelekuta muslim semacam al-khawarizmi, al-Biruni, dan yang lain menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan lahan peneitian ilmu pengetahuan.

D  Ta’adul
            Yang dimaksud dengan ta’adul  adalah keadilan, yang merupakan pola integrasil dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan social. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ASWAJA DALAM KONTEKS GERAKAN

Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’I bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu :
Ø  Basis Nilai,  yaitu nilai kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diiemplementasikan secara konsekwen dan penuh komitmen.
Ø  Basis Realitas, yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah.

            Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan Aswaja, termasuk di dalamnya NU kemudian PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan perkembangan zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatic.
Maka empat nilai yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori social dan ideology-ideologi dunia.
Tawassuth sebagai pola pikir, harus kia maknai  sebagai pola yang seimbang antara kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaanya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformative.
Tasamuh sebagai pola sikap harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka saling menghormati baik antar sesama maupun antar umat beragama. Dari manapun asalnya apapun agamanya dimanapun kedudukannya asal  mempunyai tujuan yang sama yaitu menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan membebaskan rakyat dari segala bentuk penindasan, kita harus saling bahu-membahu dalam merealisasikan tujuan mulia tersebut tanpa memandang status mereka. PMII harus bersikap inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme Eksklusivisme dan fanatisme keagamaan.
Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan egalitarianisme dalam ranah social, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di wilayah ekonomi PMII harus melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar dan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan orientasi ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi negara hanya sebagai obligator belaka dan masyarakat ibarat robot yang  harus selalu menuruti kehendak pasar, atau sosialisme yang menjadikan Negara sebagai kekuatan tertinggi yang mengontrol semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan bagi pasar dan masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonomin. Di wilayah politik, isu yang diusung adalah  mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan Negara. PMII tidak menolak kehadiran Negara, karena Negara melalui pemerintahannya merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan adalah fungsi Negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di bidang ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk eksploitasi alam hanya semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang berlebiahn. Maka, kita harus menolak nalar positovisik yang  diusung oleh neo-liberalisme yang menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi kemajuan teknologi dan percepatan produksi.
Ta’adul  sebagai pola integral mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. keadilan dalam berpikir, bersikap dan relasi. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, social, hukum, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan sekadar menunggu anugeah dan pemberian turun dari langit.

0 komentar:

Posting Komentar