Balun
adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian tengah tepatnya Kecamatan Turi
dan hanya mempunyai jarak 4 kilometer dari kota Lamongan. Desa Balun merupakan daerah yang
terletak di dataran rendah yang banyak terdapat tambak dan bonorowo sehingga
masuk daerah yang rawan banjir seperti umumnya daerah lain di kabupaten
Lamongan. Desa Balun juga dibelah oleh sebuah sungai yang bermuara di Bengawan Solo.
Sejarah
Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang
syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk tentang penyebaran Islam oleh
para santri murid Walisongo dan masih terkait dengan sejarah hari jadi Kota
Lamongan. Di mana kata Balun berasal dari nama “Mbah Alun” seorang tokoh yang
mengabdi dan berperan besar terhadap terbentuknya desa balun sejak tahun 1600-an.
Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun
I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau
Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang lahir di Lumajang tahun 1574. Dia merupakan anak
dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar adalah keturunan Lembu Miruda
dari Majapahit
(Brawijaya).
Mbah Alun belajar mengaji di bawah asuhan Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Selesai
mengaji beliau kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum
diangkat menjadi Raja Blambangan.
Selama pemerintahannya (tahun 1633-1639)
Blambangan mendapatkan serangan dari Mataram dan Belanda hingga kedaton
Blambangan hancur. Saat itu Sunan tawang Alun melarikan diri ke arah barat
menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yaitu Ki Lanang
Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari
(kini menjadi desa Balun) untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Disinilah Sunan
Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat
Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja,
maka beliau dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin
Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton
ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam
dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuatif, dan yang
terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal
dan toleransinya terhadap agama lain.
Desa tempat makam Mbah Alun ini kemudian disebut
Desa Mbah Alun dan kini Menjadi Desa Balun, Kecamatan Turi. Dan makamnya sampai
sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang dari daerah lain, apalagi
bila hari Jum’at kliwon banyak sekali rombongan-rombongan peziarah yang datang
ke Desa Balun.
Pasca G 30S PKI tepatnya tahun 1967 Kristen dan
Hindu mulai masuk dan berkembang di Desa Balun. Berawal dari adanya pembersihan
pada orang-orang yang terlibat dengan PKI termasuk para pamong desa yang diduga
terlibat. Akibatnya terjadi kekosongan kepala desa dan perangkatnya. Maka untuk
menjaga dan menjalankan pemerintahan desa ditunjuklah seorang prajurit untuk
menjadi pejabat sementara di desa Balun. Prajurit tersebut bernama Pak Batih
yang beragama Kristen. Dari sinilah Kristen mulai dapat pengikut, kemudian pak
Batih mengambil teman dan pendeta untuk membabtis para pemeluk baru. Karena
sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Balun maka
penetrasi Kristen tidak menimbulkan gejolak. Di samping itu kristen tidak
melakukan dakwa dengan ancaman atau kekerasan.
Pada tahun yang sama yakni 1967 juga masuk
pembawa agama Hindu yang datang dari desa sebelah yaitu Plosowayuh. Adapun
tokoh sesepuh Hindu adalah bapak Tahardono Sasmito. Agama hindu inipun tidak
membawa gejolak pada masyarakat umumnya. Masuknya seseorang pada agama baru
lebih pada awalnya lebih disebabkan oleh ketertarikan pribadi tanpa ada
paksaan. Sebagai agama pendatang di desa Balun, Kristen dan Hindu berkembang
secara perlahan-lahan. Mulai melakukan sembahyang di rumah tokoh-tokoh agama mereka,
kemudian pertambahan pemeluk baru dan dengan semangat swadaya yang tinggi mulai
membangun tempat ibadah sederhana dan setelah melewati tahap-tahap perkembangan
sampai akhirnya berdirilah Gereja dan Pura yang megah.
Kependudukan
Desa Balun adalah salah satu desa tua yang ada di
kabupaten Lamongan yang masih memelihara budaya-budaya terdahulunya. Di samping
itu keanekaragaman agama semakin memperkaya budaya desa Balun dan yang menjadi
ciri khas adalah interaksi sosial di antara warganya yang multi agama (Islam, Kristen, Hindu).
Sejak masuknya Hindu dan Kristen tahun 1967 dan Islam sebagai agama asli belum
pernah terjadi konflik yang berkaitan agama.
Meskipun secara jumlah agama mayoritas tetap
Islam yaitu 75% 3498 orang dari 4.644 jumlah total penduduk) dan agama yang
paling sedikit adalah hindu yaitu 7% (289 orang) serta sisanya agama kristen
18% (857 orang), tekanan ataupun perlakuan sewenang-wenang tentang agama tidak
pernah ada. Masing-masing dari mereka saling menjaga. Begitu pula tidak ada
pengelompokan tempat tinggal berdasarkan agama, mereka campur dan menyebar
merata.
Budaya
Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan
budaya-budaya yang khas, serta budaya asli juga dapat memengaruhi interaksi
multi agama yang terjadi. Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan
interpretasi pada simbol-simbol budaya berbeda dengan daerah lain. Suatu misal
pada saat datang kehajatan untuk menyumbang atau membantu para perempuan banyak
yang memakai kerudung (bukan jilbab) dan bapak-bapak banyak yang memakai
songkok atau kopyah, padahal agama mereka belum tentu Islam sebagaimana pada
masyarakat yang lain. Hal ini berarti kerudung dan kopyah lebih berarti sebagai
simbol budaya yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan atau acara
ngaturi.
Budaya selamatan juga masih banyak dilakukan oleh
masyarakat Balun. Biasanya selamatan menyambut bulan Romadhon dan selamatan
sebelum hari raya umat Islam. Bagi yang bukan agama Islam juga ikut mengadakan
selamatan, hal ini lebih dimaksudkan atau dimaknai sebagai tindakan sosial dari
pada tindakan religius sebab mereka bukan umat Islam. Mereka memaknai untuk
merekatkan antar tetangga dan mengenai waktu mereka selaraskan dengan pilihan
umat Islam. Selamatan untuk orang meninggal juga masih dilakukan sebagian besar
masyarakat Balun, dan mengundang para tetangga dan kerabat termasuk mereka yang
beragama Hindu dan Kristen. Bagi mereka memennuhi undangan adalah sesuatu yang
penting karena disitu terdapat kontrol sosial yang ketat. Bagi mereka yang
tidak datang harus pamitan sebelum atau sesudahnya.
Dalam pesta hajatan terdiri dari dua hari, hari
yang pertama adalah acara “ngaturi” dimana dalam acara ini didatangi oleh
seluruh warga RT yang bersangkutan dan seluruh keluarga yang ada. Dalam acara
ini juga dihadiri oleh perangkat desa sebagai wakil dari pihak desa dan oleh
tokoh agama yang sesuai dengan agama yang punya sebagai pembaca doa. Untuk hari
kedua adalah maksud dari hajatan itu sendiri, bisa nikah, sunatan atau yang
lainnya. Masyarakat yang datangpun dari ketiga agama tersebut. Perbedaan agama
terjadi bukan hanya pada antar keluarga tetapi terjadi pula dalam kelurga itu
sendiri, sehingga dalam setiap acara salah satu agama pasti melibatkan aggota keluarga
yang berbeda agama. Baik bantuan berupa tenaga maupun biaya upacara keagamaan
yang akan berlangsung. Misal, dalam acara tahlilan anak yang beragama Kristen
ikut membantu orang tuanya dalam acara tahlilan tersebut. Bahkan dalam satu
atap terdiri dari tiga agamapun sudah tidak heran lagi.
Kebiasaan lain dari masyarakat Balun ini adalah
penyambutan bulan Agustus yang dimeriahkan dengan banyak acara yang biasanya
atas inisiatif atau arahan pihak desa. Untuk Agustus tahun ini acara yang
diadakan dalam lingkup desa dan mencakup semua masyarakat adalah pentas seni
dan donor darah masal yang di pelopori oleh kalangan pemuda (karang taruna ).
Sebagai ciri khas masyarakat yang multi agama adalah seni yang dimainkan dalam
pentas seni. Adanya kolaborasi dari tri-agama, dimana Islam dengan seni bermain
terbang, kristen dengan band, dan hindu dengan gamelannya.
Editor; AAB