Kita ambil contoh, misalnya bagaimana seorang
artis misalnya artis korea, yang terlihat bahagia dan semua puncak kebahagiaan
dunia ditangannya. Terkenal, dihormati, kaya, makanan enak, rumah besar dan
fasiltas lengkap, wajah yang rupawan dan pasangan hidup yang menarik. Akan
tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa artis korea atau artis secara umum
hidupnya sebenarnya di bahwa tekanan. Harus selalu tampil menarik untuk mencari
pujian dan ridha manusia, kehidupan selalu diekspos, kejar tayang, mengejar
pekerjaan dan persaingan tidak sehat dan berat di dunia artis. Jadilah pelarian
mereka ke narkoba, kawin-cerai dan berbagai skandal kehidupan. Atau yang lebih
parah kebahagiaan semu para waria, yang sudah jelas bagi orang yang di hatinya
masih ada sedikit nurani, maka mereka tidak setuju dengan mencari kebahagiaan
dengan menjadi waria.
Dan perlu kita ingat bahwa Kebahagiaan dunia semu
itu menipu dan sering kali melalaikan dari akhirat. Allah Ta’ala
berfirman,
إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ
حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ
الْغَرُورُ
“Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah
sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu
(syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqmaan:
33)
Allah Ta’ala juga berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ
وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ
الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu” (QS. Al Hadid: 20)
Istidraj: Kebahagiaan yang lebih semu lagi
Ternyata ada yang harus kita waspadai lagi. Yaitu
ia merasa bahagia di dunia padahal itu adalah hukuman baginya dari Allah Ta’ala,
karena ia bahagia tidak diatas landasan Agama Islam yang benar. Allah biarkan
ia bahagia sementara di dunia, Allah biarkan ia merasa akan selamat dari
ancaman Allah di akhirat kelak, Allah tidak peduli kepadanya. Itulah istidraj
sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ
اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ
عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila engkau melihat Allah Ta’ala memberi
hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam
kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj
(jebakan) dari Allah.”1
Mengenai ayat,
أَفَأَمِنُواْ
مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka apakah mereka merasa aman dari makar
Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan makar Allah kecuali
orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 99)
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Qar’awi
menjelaskan, “Makar Allah adalah istidraj bagi pelaku maksiat dengan
memberikan kenikmatan/kebahagiaan… mereka tidak memuliakan Allah sesuai dengan
hak-Nya. Mereka tidak merasa khawatir [tenang-tenang saja] dengan istidraj
[jebakan] kenikmatan-kenikmatan bagi mereka, padahal mereka terus-menerus
berada dalam kemaksiatan sehingga turunlah bagi mereka murka Allah dan menimpa
mereka azab dari Allah”2
Kita ambil contoh komentar seorang ibu,
“saya sudah bahagia sekarang, anak-anak saya
semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak pertama wakil
direktur di bank, anak kedua saya jadi koordinatur umum di urusan pajak bea
cukai, anak ketiga saya menjadi hakim agung di kabupaten”
Bisa jadi ini adalah istidraj, jika
kebahagiaanya hanya bersandar sesuai dengan komentar diatas tanpa landasan
agama, walaupun jika kita tanya kepada kebanyakan manusia, maka mereka
kebanyakan sepakat bahwa ibu ini memang bahagia sekarang. Akan tetapi, Jika mengikuti
kebanyakan hawa nafsu manusia di muka bumi, maka kita akan kita akan tersesat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن
تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang
yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. Al-An’am: 116).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
menafsirkan, “Allah berfirman kepada nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan memberi peringatan dari menaati/mengikuti mayoritas manusia,
karena kebanyakan mereka telah berpaling dari agama, amal dan ilmu mereka.
agama mereka rusak, amal mereka mengikuti hawa nafsu dan ilmu mereka tidak
diterapkan dan tidak bisa mencapai jalan yang benar”3
Sering-sering muhasabah antara nikmat dan istidraj
Dan sudah sepatutnya kita berilmu, yaitu bagaimana
membedakan antara nikmat dan istidraj dengan sering-sering bermuhasabah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun (kemampuan) membedakan
antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah
anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih-sayang-Nya, yang dengannya
ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj
dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan
(dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari
jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah
dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu
terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah”4
Standar bahagia di dunia seperti orang kafir?
Jika ada komentar, “saya hidup bahagia
sekarang, punya istri yang cantik, anak yang lucu dan pintar, punya rumah yang
cukup besar karir saya di kantor terus naik dan bisnis lancar terus”. Maka,
orang kafir juga bahagianya dengan komentar di atas, oleh karena itu tidak
sepantasnya seorang muslim bahagia HANYA dengan patokan kebahagiaan
seperti komentar di atas. Mengenai ayat,
لَا يَغُرَّنَّكَ
تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ
جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh
kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan
sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu
adalah tempat yang seburuk-buruknya.” QS. Ali Imran: 196-197)
Ibnu Katsir rahimahullah
menafsirkan, ”Janganlah kalian melihat berbagai kenikmatan, kebahagian dan
kemudahan orang-orang kafir. Tidak berapa lama lagi, semuanya akan lenyap dari
tangan mereka. Nantinya, mereka akan terjerat oleh amalan-amalan buruk mereka. Kami
memberikan kemudahan mereka di sana, sebagai istidraj semata. Semua yang
mereka miliki hanyalah (kesenangan sementara). Kemudian tempat tinggal mereka
ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya“.5
Dan jika kita seperti orang kafir hanya ingin
bahagia di dunia saja, maka terkadang Allah Ta’ala memberikannya sekedar
kehendak Allah, Allah Ta’ala berfirman,
مَّن كَانَ يُرِيدُ
الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا
لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُوماً مَّدْحُوراً
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu sesuai dengan apa yang kami
kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya
neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS.
Al-Isra’: 17)
Apa itu kebahagiaan yang sesungguhnya?
Kebahagiaan adalah bahagia jika melaksanakan
perintah Allah dan merasa sedih jika melakukan kemaksiatan. Allah Ta’ala
berfirman,
مَنْ عَمِلَ
صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97)
Jadi jika kita berat melaksanakan shalat, puasa,
atau bahkan berat melaksanakan amalan-amalan sunnah, maka itu adalah tanda
tidak bahagia. Kemudian jika kita melakukan maksiat tetapi kita tenang-tenang
saja, atau yang lebih parah tidak tahu bahwa hal yang kita lakukakan adalah
maksiat dan dilarang oleh agama. Bandingkan dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu
‘anhu,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ
يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ،
وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ
هَكَذَا
“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya
seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh
menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor
lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir
lalat tersebut.”6
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan
mengenai ciri kebahagiaan: “jika diberi [kenikmatan] maka ia bersyukur,
jika diuji [dengan ditimpa musibah] ia bersabar dan jika melakukan dosa ia
beristigfar [bertaubat]. Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”7
Dan mengenai bahagia yang sesungguhnya jelas
letaknya adalah di hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى
عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan
banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’
adalah hati yang selalu merasa cukup.”8
Oleh karena itu carilah kebahagiaan hakiki
tersebut, sebagaimana kita mencari kesembuhan jika badan kita sakit, jika badan
kita sakit maka kita akan menempuh berbagai penjuru dunia untuk mencari
kesembuan. Jawabannya adalah ilmu, doa dan bersungguh-sungguh. Allah Ta’ala
berfirman,
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami” (QS. Al-Ankabut: 69)
Contoh kebahagiaan dunia-akhirat
Inilah contoh kebahagiaan para ulama salaf,
mereka berkata,
لَوْ يَعْلَمُ
المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ
“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui
kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan
pedang.”9
Contoh ulama yang mencerminkan kebahagiaan dunia-akhirat
adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Muridnya yaitu Ibnul
Qayyim menceritakan kebahagiaan gurunya, ”Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku
tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat
susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat
memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami
di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan
penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku
dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling
lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada
wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu
Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri
kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup,
kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya
memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang
semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar,
yakin dan tenang”.10
Bahkan ketika beliau di penjara beliau Ibnu
Taimiyah berkata, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak
ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”11
Beliau juga berkata, “Orang yang
dipenjara adalah orang yang hatinya dibelenggu dari Rabb-nya Ta’ala”
Beliau juga berkata, “Apa yang dilakukan
oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamannya ada di hatiku,
jika, ke mana aku pergi ia selalu bersamaku, jika mereka memenjarakanku maka
penjara adalah khalwat bagiku, jika mereka membunuhku maka kematianku adalah
syahid, jika mereka mengusirku maka kepergianku adalah rekreasi.”12
—
Catatan Kaki
1 HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no. 561
2 Al-Jadid fii Syarhi Kitabit tauhid hal.
306, Maktabah As-Sawadi, cet.II, 1417 H
3 Taisir Karimir Rahmah hal. 248, Dar Ibnu
Hazm, Beirut, cet. I, 1424 H
4 Madarijus salikin 1/189, Darul Kutub
Al-‘Arabi, beirut, cet. III, 1416 H, Syamilah
5 Tafsir Ibnu Katsir 2/192, Dar Thayyibah,
cet. II, 1420H, Syamilah
6 HR. Bukhari no. 6308
7 Matan Qowa’idul Arba’
8 HR. Bukhari dan Muslim
9 Rawai’ut Tafsir Ibnu Rajab 2/134, Darul
‘Ashimah, cet.I, 1422 H, Syamilah
10 Al-wabilush shayyib hal 48, Darul
Hadits, Koiro, cet. III, Syamilah
11 Idem
12 Idem
0 komentar:
Posting Komentar