Titik kejenuhan sosial ada dua pertama keadaan dimana gejala sosial yang muncul bisa ditangkap dengan bekal inderawi semata, gejolak gejolak yang mengancam stabilitas nampak nyata didepan mata atau terjadi secara aktif dan masif, keduatitik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Pada point manakah masyarakat berada. Hal ini perlu diulas dengan mengungkap kenyataan yang terjadi versus keharusan yang mesti terjadi.
Di Negara demokrasi, tradisi partai politik
sebagai adat menjadi suatu hal yang perlu ditelaah lebih jauh, dikarenakan ia (
tradisi partai politik ) adalah bagian upaya penyatuan heterogenitas (unity
of diversity) demi pencapaiaan kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat. Bagaimanapun juga, bahwa antara kenyataan sosial berupa
kesejahteraan dengan ragam harapan masyarakat untuk menjadi lebih baik telah
menjadi jarak yang saling menjauh, Melebarnya jarak tersebut adalah kenyataan
tersendiri yang menciptakan ruang kekacauaan sosial yang diam ( silent
instabilitation ),. Dalam pandangan Samuel P. Huntington seorang
pemerhati demokrasi modern mengatakan “semakin maju suatu bangsa atau negara
maka didalamnya ada tradisi partai politik yang mapan’’( Tertib politik
, Samuel P Huntington ), jika teori tersebut dijadikan tolak ukur maka
partai politik dengan kenyataan yang mewujud pada masa ini seharusnya
mengkritisi taradisi politik yang dibangunnya.
Pada sejarah partai politik di-indonesia,
matlumat pemerintah No X 1945 dengan bunyi pertama pemerintah menyukai timbunya
partai partai politik karena dengan adanya partai itulah dapat dipimpin kejalan
yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat ( Politik Hukum,
mahfud Md ), sejak saat itulah mulai pada bulan januari 1946 lahirlah
partai partai politik seperti masyumi, PKI, Partai buruh indonesia dll. Diera
Soeharto dengan budaya develompmentisisme hanya ada 3 partai saja. Sejak era
reformasi, partai politik menjadi liar sebagai bagian utama demokrasi, jumlah
partai begitu banyak sementara arah politik / kebijakan untuk rakyat semakin
kabur. Dalam kenyataannya saat ini Jumlah partai sangat banyak, ini
mengindentifikasikan bahwa betapapun semangat pembaharuan menjadi semangat
reformasi namun perubahan yang diharapkan memiliki beragam bentuk. Muncullah
kelompok kelompok baru yang membentuk partai namun disisi lain kekacauaan
sosial juga semakin meningkat. Tradisi partai politik dewasa ini menunjukkan
liberalisasi kepentingan rakyat juga kepemimpinan yang tidak memiliki nuansa
karakter yang kharismatik.
Liberasasi partai politik serta liberlisasi kepentingan rakyat.
Kemungkinan - kemungkinan akan perubahan menjadi sesuatu yang mudah diumbar dalam melakukan mobilisasi massa demi tujuan pengikatan ingatan pemikiran masyarakat, dengan demikian yang terjadi adalah mobilisasi yang tidak sehat. Liberalisasi partai politik telah mengahasilkan ragam penafsiran terhadap kepentingan rakyat, biasanya kenyataaan dilapangan tidaklah serumit yang dipahami oleh partai begitupun sebaliknya, liberalisasi partai politik malah membagi kepentingan kepentingan masyarakat menjadi sangat plural, dimana liberasiasi pembacaan kepentingan itu dijadikan komoditas bahan dagangan oleh partai politik, kepentingan rakyat pun dijadikan komoditas yang diekploitasi demi kuasa pemenangan dikarenkan partai bersaing dalam memoles bahasa tentang apa yang diinginkan oleh masyarakat, Demi dan atas nama rakyat, itulah yang terjadi disatu sisi partai politik menjual kata rakyat, teori Aristotelian etic menganggap politik sebagai pengabdian sementara Machvellian etic menganggap bahwa politik adalah saling menguasai, fenomena menunjukkan sisi yang nyata bahwa rakyat mulai apatis dikarenakan politik yang digandrungi adalah politik saling menguasai, Culture atau tradisi politik yang tidak memiliki pandangan seta arah yang jelas tentang pengabdian membuat masyarakat menjadi apatis, sebuah kenyataan yang saling melengkapi dan menyempurnakan keadaan yang begitu memprihatinkan berupa semakin melebarnya kekuasaan hak antara penguasa dengan kewajibannya terhadap rakyat serta kesejahteraan antara si-miskin dan si-kaya. Hak menjadi kekuatan yang benar benar dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok elite disatu sisi kewajiban pada rakyat diabaikan.
Pada tatanan masyarakat yang sedang berubah, yang
mengantarkan budaya apatis atau penciptaan titik kejenuhan adalah masyarakat
memahami bahwa ia tidak menjumpai perbedaan ikhtiari personal dengan hadirnya
sistem sebagai sarana pendukung rakyat, atau bisa dikatakan jika tampa negara
begitulah keadaan rakyat atau tanpa negara apa yang dialami masyarakat akan
tetap sama. Ikhtiar personal dianggap sebagai bagian mandiri upaya masyarakat
dimana negara tidak memiliki kontribusi terhadap perubahan keadaannya. Jadi
bisa disimpulkan bahwa fungsi demokrasi berupa pemberdayaan oleh pemerintah
sangat minim sementara yang berjalan hanyalah fungsi fungsi adminstartif. Maka
implikasinya, masyarakat terpinggirkan dalam pemenuhan kepentingannya hampir
selalu beroposisi dengan kehendak pemerintah karena masyarakat berada posisi
kehendak berdasarkan kenyataan yang mereka alami dan mengharapkan keharusan
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dirinya/ kelompoknya, sementara
pemerintah hanya berkutat pada fungsi administrasi dimana pada fungsi - fungsi
adminstarsi atau formal tersebut masyarakat selalu terpinggirkan karena
pemerintah berkawan pada kelompok elite elite politik semata, dimana elite
elite politik yang diharapkan memperjuangkan kepentingan rakyat telah
memisahkan diri dari masyarakat dalam fungsinya.
Dengan kenyataan sebagaimana yang dimaksud dengan
kesan rakyat pada iktiari personal yang mandiri itu, Peluang munculnya
kekacauaan sosial akan semakin mengkhawatirkan meskipun dalam kehidupan sehari
hari terkesan masyarakat acuh atau apatis. Munculnya kekacaauan sosial atau
instabilitas yang tiba tiba atau sangat susah diprediksi kapan terjadinya
disebabkan karena suatu saat nanti masyarakat akan sampai pada kesadaran titik
jenuh dimana telah menganggap kekusaan negara dan fungsi partai politik sebagai
hal yang tak bermanfaat. Jikapun liberalisasi partai politik menggejala maka
seandainya ada pemimpin yang muncul dengan sosok yang khrismatik , cerdas, dan
arif akan sangat mengurangi keadaan yang penuh dengan kelengahan penguasa pada
rakyat, atau dalam pandangan soekarno, dalam era dimana banyak partai maka
harus ada “ sesepuh” ia mengatakan bahwa negara indonesia dengan bergam partai
harus dipimpin oleh seorang sesepuh, lantas apakah tradisi kepemimpinan dalam
partai politik melahirkan seorang sesepuh.
Kepemimpinan Dalam Tradisi Partai Politik.
Kepemimpinan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial karena seorang pemimpin diharapakan mampu mengorganisir kepentingan masyarakat agar bisa mewujud dalam suatu kebijakan yang ideal. Namun perlu dilihat secara seksama bahwa dalam sistem pemilihan umum kita, seorang pemimpin itu adalah suguhan partai politik. Partai politik memiliki andil utama dalam menyiapkan siapa yang layak menjadi seorang pemimpin. Kenyataan inilah yang kita lihat saat ini, lantas apakah memang pemimpin dari partai ini benar - benar sesuai dengan kehendak rakyat. Fenomena tradsi partai politik menunjukkan tradisi pencitraan yang tidak alamiah, proses partai politik mendesain realitas eksternal untuk menciptakan kualitas personal pemimpin yang diajukannya, model kepemimpinan yang demikian itulah yang menimbulkan malapetaka sosial. Teori sifat kepemimpinan menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah atribut yang dilekatkan oleh suatu kelompok atau manusia yang lain pada diri seseorang, tetapi sesungguhnya atribut - atribut kepemimpinan itu telah melekat pada diri pribadi seseorang itu, atribut kepemimpinan itulah yang menjelaskan kualitas - kualitas peribadinya atau dengan kata lain transformasi kualitas personality internalnya lah yang memengaruhi realitas eksternalnya, bukan sesuatu yang dinisbatkan oleh orang lain untuknya ( Pencitraan ).
Titik kejenuhan sosial, bius demokrasi
Pada kenyataannya titik kejenuhan masyarakat telah kita jumpai, namun lebih kepada poin kedua pada awal bahasan, titik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Hal ini disebakan oleh kenyataan tradisi politik yang sakit, Partai yang hendak menyegerakan pembedahan penyakit masyarakat serta pembenahan ekonomi malah membiarkan keadaan tradisi partai dalam keadaan sakit sehingga tradisi tersebut malah mempercepat tumbuhnya penyakit masyarakat serta menambah kemisikinan, pada kenyataannya desain kepemimpinan partai menjadi suatu hal yang perlu menjawab beragam kekurangan partai politik namun malah semakin fatal bahwa kenyataan desain kepemimpinan dalam partai politik belumlah menunjukkan pengkristalan keharusan kepemimpinan dalam tradisi partai politik.
Kondisi kekinian menunjukan antara nagara sebagai
jelmaan upaya pewujudan kesejahteraan dengan kehidupan rakyat sebagai sebagai
tujuan saling beroposisi paling tidak bahwa ada kenyataan kejenuhan dalam ruang
tunggu penciptaan impian itu. Kejenuhan yang lahir karena mobilitas rakyat yang
dihentikan oleh upaya sebagian kalangan bahwa dimana rakyat adalah obyek yang
terpikirkan sehingga mereka masyarakat menjadi kelompok yang dipasung. Dugaan
ini menjadi kenyataan dikarenakan harapan rakyat adalah komoditas yang selalu
diperhatikan serta dilestarikan demi upaya pencapaiian tujuan tujuan yang oportunis
oleh partai politik dengan demikan maka rakyat dibelenggu dalam keadaan tidak
sadar karena bius demokrasi yang mengatasnamakan rakyat.
Bius demokrasi yang dimaksud berupa penggilaan
diri terhadap arti demokrasi yang tidak rasional, dimana sistem demokrasi
begitu diagungkan sementra tujuan demokrasi hanya dalam ilusi dikarenakan
perjalanan demokrasi (culture of democracy) yang dijalankan oleh
partai politik tidak berjalan dalam wilayah kesadaran untuk rakyat atau mungin
dikatakan pelupaan yang terencana karena demokrasi hanya medan pertarungan
dalam nalar saling menguasai inilah yang mungkin disebut alirasn politik Hobes
dimana politik adalah pertarungan untuk saling mengusai, pertarungan antara
agama dan negara. Bius demokrasi melahirkan orang kuat yang menguasai
bukan dari kualitas ilmu, serta karakter kepemimpinan yang sebenarnya.
Ini Tulisan saya, mohon dicantumkan sumbernya darimana salam
BalasHapus