Sahabat, perlu diketahui bahwa seluruh ajaran Islam
mengandung maslahat dan bertujuan untuk meniadakan bahaya bagi hamba.
Misalnya Islam melarang rokok, itu karena adanya maslahat dan supaya
hamba terhindar dari bahaya berupa penyakit dan berujung kematian.
Begitu pula jilbab pada wanita misalnya, tidaklah wanita diperintahkan
tanpa ada maslahat, namun ada maksud baik di balik itu. Wanita akan
lebih terjaga ketika mengenakannya. Namun kadang maslahat tersebut
diketahui, kadang masih samar bagi kita.
Melanjutkan kaedah fikih yang sebelumnya telah dikaji, saat ini kita membahas kaedah tentang maslahat.
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan,
الدين مبني على المصالح
في جلبها والدرء للقبائح
Ajaran Islam dibangun di atas maslahat
Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudhorot (bahaya)
Bait sya’ir di atas mengandung pengertian bahwa ajaran Islam dibangun atas dasar meraih maslahat dan menolak mudhorot (bahaya).
Maslahat akan Kembali pada Hamba
Maslahat yang dimaksud adalah manfaat. Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah karena Allah itu ghoni (Maha Kaya). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15). Maslahat atau manfaat yang dimaksud adalah yang dirasakan oleh hamba.
Maslahat Bukanlah Ditimbang dengan Hawa Nafsu
Maslahat di sini juga bukanlah menurut hawa nafsu atau yang
dikehendaki oleh jiwa. Karena seperti itu sudah keluar dari makna diin
atau ketaatan. Yang namanya ketaatan adalah dengan mengikuti perintah
Allah. Oleh karena itu, syari’at Islam melarang seseorang untuk
memperturut hawa nafsu sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shad: 26). Intinya, mengikuti hawa nafsu hanya memberi dampak dhoror (bahaya) dan tidak mendatangkan maslahat selamanya.
Cara Mengetahui Maslahat dan Mudhorot
Ada beberapa macam metode dalam mengenali hal ini yang dilakukan oleh beberapa golongan.
1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
maslahat dan mudhorot bagi hamba dinilai dari logika. Inilah prinsip
dari mereka yang mengangumi dan mengedepankan akal.
2. Golongan Asya’iroh berpendapat bahwa
patokan baik dan buruk adalah syari’at. Dusta misalnya barulah dikatakan
jelek dilihat dari penyandaran perbuatan tersebut, bukan dilihat dari
sisi perbuatan dusta itu sendiri. Dusta baru dibenarkan sebagai hal yang
keliru ketika telah dijelaskan oleh syari’at. Jika tidak, maka tidaklah
demikian menurut mereka. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akal
dan dalil syar’i. Setiap orang pasti sudah mengetahui bahwa dusta itu
merupakan perbuatan yang jelek, sedangkan jujur adalah perbuatan yang
baik –walau tidak diterangkan dengan dalil-. Oleh karena itu, perbuatan
jelek sudah dianggap jelek oleh syari’at sebelum Rasul itu ada. Namun
hukuman dari perbuatan jelek tersebut diperuntukkan jika Rasul telah
diutus di suatu kaum. Allah Ta’ala berfirman,
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf” (QS. Al
A’rof: 157). Menurut Asya’iroh bahwa sandaran penilaian perbuatan baik
dan jelek adalah dari syar’i. Jika yang benar sesuai pemahaman mereka,
seharusnya ayat tadi berbunyi, “Yang menyuruh mereka mengerjakan sesuai yang diperintahkan pada mereka”.
Padahal ayat tersebut tidak memaksudkan demikian. Karena perbuatan
ma’ruf sudahlah dinilai baik meskipun belum datang syari’at.
Pendapat yang benar mengenai cara menilai sesuatu
itu maslahat ataukah tidak yaitu dengan sendirinya meskipun tidak ada
dalil logika maupun dalil syar’i. Jujur sudah dapat dinilai baik
meskipun sebelum adanya syari’at atau sebelum dinalarkan dengan logika. Namun kapan seseorang baru terkena hukuman ketika dusta? Untuk
masalah hukuman baru ada setelah tegak dalil, setelah sampainya
syari’at atau diutus seorang Rasul sebagai pemberi keterangan (hujjah).
Sebagaimana AllahTa’ala berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al Isro’: 15). Demikianlah pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah yang tepat.
Dalil-Dalil Pendukung: Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat
Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat dan dipastikan pula
setiap ajaran Islam bermaksud untuk mengenyampingkan mudhorot pada
hamba. Yang menerangkan bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat
dan menolak mudhorot adalah dalil-dalil berikut ini:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
(QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya
pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu” (QS. Al Maidah: 3). Sempurnanya nikmat adalah dengan
sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai tandanya, ajaran ini pasti
selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika kita tilik satu per
satu, kadang diberikan alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan
maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaedah ini, para ulama sangat perhatian di
dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat tulisan tersendiri
tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku
yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh ajaran
dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.
Macam-Macam Maslahat
Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan bahwa ajaran tersebut
ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti shalat lima waktu. Ada
pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab) seperti shalat
sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan jika
tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya
seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
- Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.
- Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi maslahat menjadi:
- Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
- Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh.
Yang haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika
melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang
berdampak dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang
makruh tidak berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa
memperoleh pahala jika ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:
- Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.
- Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang
bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang
bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk
menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan kepada
sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin
atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan ketiga
hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari.
Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada
yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari
kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan
puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan
syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya mafsadat.
Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap). - Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang
tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh
syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para
ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan
kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah.
Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:
- Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).
- Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah adalah pendapat yang kuat.
Karena jika kita menetapkan seperti ini berarti kita menganggap
syari’at Islam benar-benar sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa
sebagai jawaban dari segala permasalahan, serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.
Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat
Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum
syari’at ada maslahat tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk
maslahat tersebut. Seperti memakan daging unta bisa membatalkan wudhu.
Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ
وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ
قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?”
Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka
tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah
seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda,
“Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR.
Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu
setelah memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum
tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu maslahat yang
diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat
untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang karena
selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang
sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ
ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya
kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan,
atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah maslahat yang jelas kita ketahui.
Bolehkah seseorang dalam beramal berniat untuk menggapai tujuan duniawiyah?
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah berkata,
“Seharusnya setiap orang berniat untuk meraih pahala dan balasan di
sisi Allah, yang diharapkan adalah wajah Allah dan kebahagiaan di
akhirat. Jika seseorang semata-mata mencari keuntungan duniawi, maka
boleh saja ia berniat untuk seperti itu namun pada amalan yang ada nash
(dalil) yang menerangkan adanya manfaat jika melakukan amalan tersebut.
Akan tetapi, jika ia berniat seperti ini, yaitu ingin menggapai dunia
semata –tidak ingin mengharap pahala akhirat sama sekali-, maka di
akhirat ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Begitu pula jika seseorang
berniat dalam amalannya dengan niat yang bertentangan dengan maksud
syari’at, maka ia jadinya berdosa. Contohnya adalah yang berniat untuk
menikah karena tujuan membantu temannya yang sudah mentalak istrinya
tiga kali supaya bisa halal kembali, inilah yang disebut nikah tahlil.
Ini jelas tujuan yang bertentangan dengan syari’at dan jadinya berdosa”
(Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 56).
Tentang masalah niatan duniawi dalam amalan diterangkan dalam ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ,
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ
وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud: 15-16).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya
orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang
telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan
puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia,
maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia
cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena
mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk
orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini
juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia
yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan
memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia
tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun
seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin
mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga
dia akan mendapatkan balasan di akhirat” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 7: 422-423).
Intinya, beramal sholeh untuk menggapai dunia bisa kita rinci menjadi dua:
1. Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun
seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia,
maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam
hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan
lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada
satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud
akan mendapatkan anak laki-laki.
2. Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah
silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat)”
(HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Jika seseorang melakukan
amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja
dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya
telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap
mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya
dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai
tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya
balasan dunia dalam amalan ini.
Alhamdulillah, akhirnya kita dapat memahami bagaimana Islam
membangun ajarannya di atas maslahat. Jadi, tidak ada kerugian jika kita
melakukan berbagai ajaran Islam. Dalam hal jilbab, meskipun terasa
berat oleh sebagian wanita, namun pasti jilbab itu mengandung maslahat
yaitu lebih menjaga diri wanita. Begitu pula dalam masalah jenggot,
laki-laki diperintahkan untuk memeliharanya dan dibiarkan begitu saja
tanpa dirapikan atau dicukur habis. Lantas apa maslahatnya? Jika tidak
diketahui bentuk maslahatnya pun, tetap kita mesti menjalaninya. Karena
jika kita tidak mengetahui, belum tentu maslahatnya tidak ada. Dan
mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangkan maslahat di dunia maupun akhirat. Yakinlah dengan ajaran Islam yang indah …
Masih berlanjut pada keadah yang berikutnya, semoga Allah mudahkan.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriq
0 komentar:
Posting Komentar