Salah satu ilmu alat yang penting dipelajari adalah ilmu qowa’id fiqh
(kaedah fikih). Ilmu ini amat membantu sekali untuk menyelesaikan
permasalahan fikih. Dengan menguasai dan memahami kaedah, berbagai
permasalahan bisa terjawab. Bahkan satu kaedah bisa berlaku untuk banyak
bab. Di antara bahasan Qowa’id Fiqh yang menarik dipelajari adalah bait sya’ir yang disusun oleh Syaikh As Sa’di rahimahullah. Mudah-mudahan kami bisa menuntaskan pembahasan ini dan menggali-gali faedah berharga di dalamnya.
النِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ العَمَلِ
بِهَا الصَّلاَحُ وَالفَسَادُ لِلْعَمَلِ
Niat syarat seluruh amal
Karena niat akan baik atau jeleknya suatu amal
Kaedah ini adalah kaedah yang amat bermanfaat dan paling mulia. Kaedah ini berlaku pada setiap cabang ilmu.
Baiknya amal badan dan amal maliyah (harta), begitu pula amal hati
dan amal anggota badan, semuanya tergantung niat. Rusaknya amal-amal
tersebut juga tergantung niat.
Jika niat seseorang baik, maka baik pula ucapan dan amalannya. Namun
jika niat seseorang jelek, maka jelek pula ucapan dan amalan.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”[1]
Niat itu ada dua fungsi
Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat
(kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti
meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang
seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat
mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah.
Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.
Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah
lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah,
ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya
sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah muthlaq). Semuanya ini
dibedakan dengan niat.
Yang termasuk dalam bahasan niat juga adalah ikhlas.
Ikhlas yang dimaksudkan adalah kadar tambahan dari sekedar niat beramal
semata. Dalam ikhlas ada tambahan selain niat beramal, ada pula niat
kepada sasaran ibadah (al ma’mul lahu). Inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas artinya seorang hamba memaksudkan amalnya untuk mengharapkan wajah Allah, tidak ingin mengharapkan yang lainnya.
Di antara contoh penerapan kaedah ini
Kaedah ini berlaku untuk seluruh ibadah seperti shalat yang wajib dan
yang sunnah, zakat, puasa, i’tikaf, haji, ‘umroh, seluruh ibadah yang
diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, udhiyah (qurban), hadyu (sembelihan di Makkah), nadzar dan kafarot, jihad, memerdekakan budak, dan membebaskan budak mudabbar.
Kaedah ini juga berlaku untuk perkara yang mubah. Jika perkara yang
mubah diniatkan agar kuat dalam melakukan ketaatan pada Allah, atau
perkara mubah sebagai sarana kepada ketaatan, contohnya adalah makan,
minum, tidur, mencari nafkah, nikah, maka amalan ini pun bernilai
pahala. Contoh lainnya adalah hubungan biologis dengan istri atau dengan
budak wanitanya dengan maksud untuk menjaga diri dari zina, atau
tujuannya untuk menghasilkan keturunan yang sholeh atau untuk
memperbanyak umat, jika niatannya seperti ini, maka akan membuahkan
pahala.
Hal yang perlu diperhatikan
Perkara yang ditujukan pada hamba ada dua macam, yaitu (1) perkara
yang diperintahkan untuk dikerjakan dan (2) perkara yang diperintahkan
untuk ditinggalkan.
Untuk perkara yang diperintahkan untuk dikerjakan, maka harus ada
niat di dalamnya. Niat ini adalah syarat sahnya amalan tersebut dan juga
syarat untuk memperoleh pahala. Contoh ibadah yang diperintahkan adalah
shalat.
Untuk perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan, seperti
menghilangkan najis pada pakaian, badan atau tempat, seperti pula
melunasi utang yang wajib, maka untuk hal melepaskan kewajiban semacam
ini tidak disyaratkan adanya niat. Tetap sah, walaupun tidak berniat.
Adapun agar amalan itu bernilai pahala, maka harus ada niat di dalamnya, yaitu niat mendekatkan diri pada Allah. Wallahu a’lam.
***
Alhamdulillahillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diterjemahkan dari Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, 1420 H, hal. 15-17.
0 komentar:
Posting Komentar