Mereka katakan bahwa meletusnya Gunung Kelud telah tertulis jelas di Al-Quran, ini buktinya:
Tanggal 13 Bulan 2 (Surat 13 ayat 2), “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. ALLAH MENGATUR URUSAN (Makhluk-Nya), MENJELASKAN TANDA-TANDA (Kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.”-
Meletus Jam 22:49, 22:50 (Surat 22: 49-50), Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya Aku adalah seorang PEMBERI PERINGATAN YANG NYATA kepadamu.”Maka ORANG-ORANG YANG BERIMAN DAN BERAMAL SALEH, BAGI MEREKA AMPUNAN DAN REZKI YANG MULIA.-
Tahun 2014 (Surat 20:14): “Sesungguhnya Aku ini adalah ALLAH, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka SEMBAHLAH AKU dan DIRIKANLAH SHALAT untuk MENGINGAT AKU.”—- SUBHANALLAH —-
Apakah boleh mengaitkan nomor ayat Al Qur’an dengan kejadian-kejadian semacam itu?
Cara Menafsirkan yang Keliru
Kalau kita perhatikan, cara mengaitkan ayat dengan kejadian tertentu itu jelas keliru. Karena hal itu baru dikaitkan setelah peristiwa itu terjadi seperti Gunung Kelud meletus. Seandainya tidak terjadi, apa ia bisa menebak seperti itu? Tentu saja tidak.Lalu kenapa hanya dikaitkan dengan meletusnya Gunung Kelud, bagaimana dengan Gunung Merapi yang dahulu meletus dan bagaimana lagi dengan Gunung Sinabung? Apa ketika gunung tersebut meletus baru dikait-kaitkan?
Kemudian kalau dalam ayat disebutkan suatu siksaan atau azab, maka tidak bisa kita katakan berlaku untuk kejadian-kejadian saat ini.
Cara menafsirkan seperti di atas jelas adalah cara yang keliru yang tidak pernah dicontohkan oleh salafush sholeh.
Yang perlu dipahami terlebih dahulu, ayat Al Qur’an diturunkan untuk ditadabburi, direnungkan dan dipahami maknanya. Ayat Al Qur’an bukanlah turun untuk mengaitkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa saat ini. Allah Ta’ala berfirman,
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shod: 29)Namanya tadabbur Al Qur’an itu sebagaimana disebutkan oleh Al Hasan Al Bashri rahimahullah -seorang tabi’in-,
والله ما تَدَبُّره بحفظ حروفه وإضاعة حدوده، حتى إن أحدهم ليقول: قرأت القرآن كله ما يرى له القرآنُ في خلق ولا عمل
“Demi Allah, Al Qur’an bukanlah ditadabburi dengan sekedar menghafal
huruf-hurufnya, namun lalai dari memperhatikan hukum-hukumnya
(maksudnya: mentadabburinya). Hingga nanti ada yang mengatakan, “Aku
sudah membaca Al Qur’an seluruhnya.” Namun ternyata Al Qur’an tidak
diwujudkan dalam akhlak dan juga amalannya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 419).Begitu pula cara menafsirkan Al Qur’an seperti mengaitkan nomor ayat dengan kejadian seperti itu, hanyalah menafsirkannya dengan logika dan ini tercela.
Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).
Dalam hadits disebutkan,
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).Lihat saja ‘Umar bin Khottob mencontohkan tidak seenaknya kita menafsirkan ayat. Ketika beliau membaca ayat di mimbar,
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
“Dan buah-buahan serta rumput-rumputan” (QS. ‘Abasa: 31). Umar
berkata, kalau “fakihah” dalam ayat ini sudah kita kenal. Namun apa
yang dimaksud “abba”?” Lalu ‘Umar bertanya pada dirinya sendiri. Lantas
Anas mengatakan,
إن هذا لهو التكلف يا عمر
“Itu sia-sia saja, mempersusah diri, wahai Umar.” (Dikeluarkan oleh
Abu ‘Ubaid, Ibnu Abi Syaibah, Sa’id bin Manshur dalam kitab tafsirnya,
Al Hakim, serta Al Baihaqi. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari Muslim. Imam Adz Dzahabi juga menyetujuinya).Yang dimaksud adalah Umar dan Anas ingin mengetahui bagaimana bentuk abba itu sendiri. Mereka sudah mengetahuinya, namun bentuknya seperti apa yang mereka ingin ungkapkan. Abba yang dimaksud adalah rerumputan yang tumbuh di muka bumi. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 14).
Lihat saja seorang sahabat yang mulia -seperti Umar bin Khottob dan Anas bin Malik- begitu hati-hati dalam menafsirkan ayat. Mereka begitu khawatir jika salah karena dapat jauh dari apa yang dikehendaki Allah Ta’ala tentang maksud ayat itu. Beda dengan orang saat ini yang menafsirkan seenaknya perutnya tanpa memakai tuntunan, hanya semata-mata memakai logika dengan mengaitkan nomor ayat dengan peristiwa gempa dan meletusnya gunung. Semoga kita dijauhkan dari cara menafsirkan yang keliru seperti ini.
Cara Menafsirkan Al Qur’an yang Benar
Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:1- Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.
2- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.
3- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
4- Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)
Semoga Allah terus memberi kita taufik ke jalan yang lurus.
0 komentar:
Posting Komentar