"Seorang khalifah dari dinasti Bani Umayyah mendengar perkataan buruk rakyatnya tentang khilafah yang dipimpinnya. Karena hal itu, sang khalifah mengundang dan mengumpulkan para tokoh dan orang-orang yang berpengaruh dari rakyatnya. Dalam pertemuan itu khalifah berkata, “Wahai rakyatku sekalian! apakah kalian ingin aku menjadi khalifah seperti Abu Bakar dan Umar?. Mereka pun menjawab, “ya”. Kemudian khalifah berkata lagi, “Jika kalian menginginkan hal itu, maka jadilah kalian seperti rakyatnya Abu bakar dan Umar! karena Allah Subhanahu wa ta’ala yang maha bijaksana akan memberikan pemimpin pada suatu kaum sesuai dengan amal-amal yang dikerjakannya. Jika amal mereka buruk, maka pemimpinnya pun akan buruk. Dan jika amal mereka baik, maka pemimpinnya pun akan baik. (Syarh Riyadh Al-Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin)"
Sepenggal kisah diatas adalah peristiwa yang terjadi dalam lingkaran
kehidupan berbangsa dan bernegara yang didalamnya terdapat dua komponen
penting, yaitu rakyat dan pemimpinnya. Pemimpin, sekaligus
pemerintahannya memiliki kewajiban mengayomi dan melindungi rakyatnya,
sekaligus wewenang untuk bertindak tegas demi terciptanya
keberlangsungan hidup yang tertib, teratur dan aman. Sedangkan rakyat
berkewajiban mentaati setiap peraturan dan kebijakan pemimpinnya.
Setiap rakyat akan selalu mendambakan pemimpin ideal yang
bertanggungjawab melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan memenuhi setiap
hak rakyat. Akan tetapi pemimpin yang didambakan tersebut bukan sesuatu
yang ada begitu saja. Pemimpin ternyata juga sangat tergantung kepada
seperti apa kualitas rakyat yang dipimpinnya. Kisah diatas merupakan
penjelasan atas kenyataan ini. Yaitu kenyataan bahwa pemimpin yang baik
hanyalah untuk rakyat yang baik. Dan pemimpin yang buruk hanyalah untuk
rakyat yang buruk. Firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Dan begitulah kami jadikan pemimpin sebagian orang-orang yang dzalim bagi sebagian lagi, disebabkan apa-apa yang mereka usahakan”. (QS. Al-An’am: 29)
Allah Subhanahu wa ta’aala terkadang menjadikan apa yang
menimpa hamba-Nya adalah balasan bagi amalan yang diperbuatnya. Pemimpin
yang buruk, yang memerintah dengan dzalim, yang menggunakan
kekuasaannya untuk merampas hak rakyat dan berbuat semena-mena boleh
jadi adalah balasan yang Allah segerakan didunia bagi bangsa yang selalu
berbuat dosa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hambanya, maka Allah akan akan menyegerakan balasan (bagi keburukannya) di dunia.” (HR Tirmidzi)
Semua perkara yang terjadi di dunia ini merupakan ketentuan yang
Allah tetapkan dengan kebijaksaan dan keadilannya. Allah subhanahu wa
ta’ala tidak akan pernah berbuat dzalim dan aniaya terhadap
hamba-hamba-Nya. Dalam al-Quran Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan bahwasannya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya. (QS. Ali Imran: 182).
Dan dalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai hambaku! sesungguhnya aku mengharamkan kedzaliman atas diriku.” (HR. Muslim).
Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki setiap ketentuannya
menjadi bahan pelajaran dan renungan bagi hamba-hamba-Nya. Menjadi
peringatan yang menyadarkan manusia kepada kewajibannya sebagai hamba,
juga kepada kebesaran Allah yang maha berhak atas setiap urusan seluruh
makhluk-Nya. Kesadaran ini sejatinya mendorong setiap manusia mengerti
hakikat peran hidupnya di dunia. Termasuk kesadaran sebagai rakyat,
bahwa pemimpin yang adil dan amanah adalah barang mahal yang harus
ditebus dengan ketaatan, moralitas, dan semua nilai baik rakyatnya.
Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar